SEMANGAT
OTONOMI DESA
Pentingnya pengaturan tersendiri Desa dalam
suatu UU dilandasi banyak alasan. Yang utama adalah untuk menjaga
agar prinsip pengakuan dan penghormatan terhadap eksistensi Desa
mendapat wadah legal yang tinggi, yakni UU. Tidak seperti sekarang
ini di mana sebagian aspek substantif Desa hanya diatur pada level PP
(PP No.72/2005) yang otoritas penyusunnya hanya dilakukan
pemerintah tanpa keterlibatan para wakil di DPR atau DPD.
Selain itu, dengan menjadikan pengaturan Desa
sekedar sebagai bagian norma UU Pemda, Desa seolah menjadi bagian
dari struktur Pemda dan otonomi Desa hanya menjadi cabang dari
otonomi daerah. Terlepas dari sejumlah langkah maju
pengaturan saat ini, sejatinya arah politik legislasi mengenai desa
tidak berbasis pada perubahan paradigmatis. Berbagai norma dalam UU
No.22/1999 (beserta PP No.76/2001) dan lebih-lebih lagi UU No.32/2004
(beserta PP No.72/2005) menunjukan bahwa sikap prasangka-desa, atau
bahkan anti-desa masih melekat dalam esensi kebijakan, di mana
berlangsung proses “intervensi negara atas desa, dan integrasi desa
ke dalam negara”.
Perubahan UU saat ini mesti dimulai dari
hal-ihwal mendasar yang bersifat paradigmatis, yakni isu otonomi Desa
itu sendiri. Proposisinya adalah: meski secara umum, pilar
desentralisasi dan otonomi saling terkait, namun khusus dalam kasus
Desa terdapat konsekuensi yang berlainan. Pada level Propinsi dan
Kab/Kota, otonomi hanya akan dimiliki suatu daerah otonom jika
didahului desentralisasi kewenangan dari Pusat (otonomi pemberian),
otonomi di Desa bukanlah lantaran adanya desentralisasi tetapi memang
secara nyata sudah ada sehingga yang dibutuhkan adalah rekognisi
negara atas eksistensi Desa (otonomi pengakuan). Paradigma
keotonomian ini pada gilirannya menentukan kedudukan Desa dan
relasinya dengan Negara, isi kewenangan, desain kelembagaan, dst.
Pertama,
dalam hal kewenangan Desa, prinsip otonomi tadi mewujud dalam
pengakuan Negara atas esensi kewenangan yang berbasis hak asal-usul
atau adat-istiadat setempat. Kewenangan originair ini melekat pada
hakikat keberadaan desa sebagai self-governing
community. Termasuk di dalamnya
adalah kewenangan yang bersumber dari hak ulayat (atas tanah) yang
dari sisi habitat hukumnya tidak terlepas dari keberadaan komunitas
masyarakat hukum adat. Materi muatan asali ini tidak bisa dicabut
oleh Negara/Daerah, lantaran bukan otonomi pemberian yang bersumber
dari otoritas supradesa.
Sementara terhadap Desa-desa yang kehilangan
basis keaslian tersebut atau yang berkategori bukan Desa genealogik
(Desa dinas/administratif), basis kewenangan dalam konteks “otonomi
pengakuan” tidak serta-merta hilang tetapi--mengingat hakikat desa
sebagai self-governing
community--materi muatannya
berbasis kepentingan spesifik lokal atau inisiatif masyarakat
berdasar prinsip subsidiaritas. Hemat saya, pembahasan soal sumber
alternatif ini patut dilakukan secara serius karena gugatan atas
ketiadaan basis keaslian tadi kerap dijawab pemerintah dengan
penggunaan kriteria eksternalitas yang berorientasi efisiensi
(teknokratik) dalam penyusunan materi muatan kewenangan.
Pada sisi lain, di luar kewenangan pengakuan
berbasis otonomi, Desa juga memiliki kewenangan pemberian yang
diberikan dalam kerangka desentralisasi. Secara teoritik,
kewenangan-terdesentralisir ini diberi melalui dua cara: (1)
devolusi, yakni pemberian kewenangan pemerintah lebih tinggi
(Kabupaten) yang “dikonversi” menjadi kewenangan semiotonom Desa
(melahirkan local-self
government), dan (2) delegasi,
yakni pemberian urusan/tugas yang menjadikan Desa sebagai local-state
government. Penting dicatat,
prinsip desentralisasi kewenangan di sini mesti bertujuan menambah
bobot keotonomian Desa dan dilakukan melalui kesepakatan Desa dan
Pemda, bukan justru pelimpahan beban, pemberian urusan sisa, atau
hanya menciptakan ketergantungan Desa.
Kedua,
ihwal kedudukan Desa dan hubungannya dengan Negara/Daerah. Paradigma
baru pembaruan Desa diawali dari membebaskan cara pikir kebijakan
yang menempatkan Desa sebagai miniatur Negara, menjadikan otonomi
Desa hanya sebagai bagian/turunan dari otonomi daerah. Proses
penaklukan Desa lewat metoda negaraisasi (state
formation) yang berlangsung keras
selama Orba “sukses’ memberangus otonomi Desa dan menisbikan
eksistensi politik lokal yang telah lama berakar di masyarakat.
Dalam tata administrasi publik, kedudukan Desa
yang baru berarti mengeluarkan Desa dari subordinasi organisasi
negara, kembali menempatkannya sebagai entitas politik otonom dan
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki regulasi sendiri dalam
mengelola kehidupan Desa. Dengan kedudukan demikian, formula hubungan
Desa-Pemerintah adalah sebagai mitra setara sehingga urusan dominan
Desa lebih bersumber kewenangan orisinal, sementara delegasi kerja
dalam kerangka desentralisasi dari Negara/Daerah mesti didahului
proses “kesepakatan” yang hasilnya dituangkan dalam bentuk Perda.
Ketiga,
dari aspek yuridis, hakikat keaslian dan keragaman otonomi Desa
mewujud dalam legal
policy yang
pluralis, bukan unifikatif berwujud standard nasional. Kerangka legal
yang pluralis ini tidak hanya diukur dari bentuk dasar hukum
yang pluriform,
tetapi juga isi kebijakannya mesti beresensi pluralis. Konsep
pluralisme hukum, yang oleh John Grifiths dilawankan dengan konsep
sentralisme hukum, mensyaratkan hilangnya tendensi saling mendominasi
antara berbagai sistem hukum, yakni antara sistem hukum Negara dan
sistem hukum Desa. Sementara terkait kedudukan Desa seperti uraian
point kedua di atas, implikasinya terhadap kerangka legal adalah
pemisahan dasar hukum pengaturan Desa dari UU Pemda. Pengaturan Desa
yang hanya menjadi salah satu norma dalam kesuruhan isi UU tersebut
menyebabkan konstruksi dan posisi relasional Desa menjadi bagian
Pemda. Dasar hukum tersendiri ini juga memungkinkan kodifikasi
Undang-undang tentang Desa. Lebih jauh lagi, kedudukan otonom Desa,
Peraturan Desa (Perdes) pun perlu dikeluarkan dari kategori peraturan
perundang-undangan negara.
Keempat,
bentuk-susunan penyelenggaraan Desa. Yang utama di sini adalah posisi
Kepala Desa, BPD, Sekdes dan Perangkat Desa lainnya bukanlah untuk
memerintah atau memegang otoritas legal-formal tetapi menjadi primus
interpares yang
legitimasi kepemimpinannya berbasis kepercayaan dan kepatuhan
masyarakat. Dalam konteks ini, mekanisme elektoral yang dipakai
bersifat optional (lewat sistem pemilihan/demokrasi liberal, sistem
musyawarah/ demokrasi komunitarian), pembatasan periode dan masa
jabatan beragam antardesa, dll.
Dalam kaitan itu, klausul pengisian Sekdes dari
unsur PNS saat ini mesti dihilangkan. Bermotif menjaga netralitas dan
profesionalisme Sekdes, klausul ini justru melapangkan jalan
birokratisasi Desa yang membawa dampak ikutan berupa pembengkakan
keuangan negara, penghilangan kearifan lokal dan politisasi yang
merusak nilai budaya setempat, selain memunculkan kecemburuan
finansial dan jabatan Kepala Desa maupun Perangkat Desa lainnya yang
juga menuntut status sama. Untuk itu, pilihan ke depan adalah merubah
ketentuan yang ada, Sekdes dijabat oleh figur swasta yang memenuhi
kapasitas manajerial tertentu.






0 komentar:
Posting Komentar