DEMOKRASI
KEKUASAAN DALAM BINGKAI APATISME
( Antara
harapan dan kenyataan )
oleh : Candra
Saputra
Dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, problematika datang silih
berganti. Entah itu mengenai kehidupan sosial masyarakat, budaya,
ekonomi, politik maupun hukum. Namun problematika adalah sebuah
fenomena dinamika, dari yang baik menjadi buruk atau dari yang buruk
menjadi baik, bergantung kepada siapa yang menjadi panglima dalam
memimpin di arena gejolak arus zaman.
Dewasa
ini, ada tantangan mengkhawatirkan yang dihadapi teori dan praktek
Demokrasi, antara harapan dan kenyataan berbanding terbalik.
Demokrasi yang telah mencatatkan sejarahnya menjadi sebuah kemenangan
historis atas bentuk-bentuk pemerintahan yang lain, tak mampu
mengeluarkan kondisi bangsa ini dari keterpurukan. Bahkan jika boleh
di ibaratkan sebuah penyakit yang sangat kronis dan kompleks sudah
mencapai titik nadir, tinggal menunggu ajal menjemput. Maka timbulah
suatu pertanyaan, apa yang salah dengan suatu azimat bernama
Demokrasi? Yang selalu dielu-elukan, disanjung-sanjung, bahkan
dipuja-puja bak Dewa penyelamat yang dapat mengeluarkan bangsa ini
dari keterpurukan. Namun alhasil, hanya sebuah pepesan kosong belaka.
Demokrasi
bukan lah sistem politik tanpa cela berwajah kesempurnaan. Hampir
setiap orang mengaku sebagai seorang demokrat, semua jenis rezim
politik diseluruh lapisan dunia mengklaim dirinya sebagai rezim
demokrasi. Sampai-sampai semua segala lini kehidupan haruslah
demokratis. Tentulah dalam setiap negara memiliki suatu sistem
pemerintahan masing-masing, banyak yang menganut ajaran montesqiue
mengenai perlunya pembagian kekuasaan dan pembatasan dalam suatu
negara, sebab jika tiada pembagian dan pembatasan kekuasaan di
khawatirkan kekuasaan ditangan seseorang akan menjadi mutlak, dan
kekuasaan yang mutlak cenderung di salah gunakan.
Dalam
sejarah teori Demokrasi, adanya letak suatu konflik yang sangat
tajam, mengenai apakah demokrasi harus berarti suatu jenis kekuasaan
rakyat atau suatu bentuk bantuan bagi pebuatan keputusan. Apabila
demokrasi diartikan sebagai jenis kekuasaan rakyat adalah bentuk
politik rakyat terlibat dalam pemerintahan dan pengaturan sendiri,
jika diartikan sebagai bantuan bagi pembuatan keputusan adalah cara
pemberian kekuasaan kepada pemerintah (voulunte de corps) melalui
pemberian suara (voulunte general)
secara periodik. Munculnya konflik ini menjadikan wajah demokrasi di
bagi tiga bagian, demokrasi partisipasi atau langsung, liberal atau
perwakilan, dan atas model dengan menggunakan sistem satu partai.
Konteks bangsa ini, yang bermuara pada bahtera bernama
Indonesia, sistem politik demokrasi menggunakan beberapa jenis wajah,
demokrasi partisipasi atau secara langsung dan liberal atau
perwakilan. Berbicara demokrasi tidak terlepas dari partai politik.
Dimana partai politik memiliki peran strategis dalam menuju
kekuasaan, karena sebagai alat instrumen untuk mencapainya. Dilihat
dar pejalanan historis bangsa ini tidak dapat mengejawantahkan
berdirinya partai politik, mulai dari pra kemerdekaan hingga pasca
reformasi, tetap menggunakan sistem multi partai dalam berdialektika
demokrasi.
Partai politik berdiri sebagai suatu refleksi penting
atas sistem demokrasi, namun demokrasi antara esensi dan eksistensi
haruslah bersinergi agar terwujud suatu sistem lebih demokratis.
Bangsa ini terjebak pada suatu prosedural-formalitas semata, tetapi
esensinya dikaburkan atau pun hilang. Bisa dilihat ketika pesta
pemilihan umum 5 tahun sekali (DPRD, DPR RI, DPD RI, Presiden serta
Wakil Presiden) maupun pemilihan umum kepala daerah (pemilukada).
Dalam hal ini tersurat memang melaksanakan pemilihan secara langsung,
namun dibalik itu ada suatu yang tersirat ialah harapan adanya
perubahan dalam semua lini kehidupan yang kompleks, tercapainya
kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan sesuai dengan cita-cita
kolektif kehidupan berbangsa dan bernegara.
Alih-alih berbicara demokrasi, para filsuf sepakat
terhadap konsep demokrasi yang intinya suatu cerminan dari kekuasaan
tertinggi yang dipegang oleh rakyat, muncul pameo bahwa suara rakyat
adalah suara Tuhan. Ditinjau secara mekanisme tiada yang salah, namun
implikasi yang dihasilkan demokrasi, masih jauh apa yang ingin
dicita-citakan bangsa ini. Bahkan semakin hari semakin buruk, mulai
dari ketimpangan kebijakan maupun keputusan pemerintah yang
kontradiktif dengan kondisi rakyat hingga kasus-kasus menjerat
pejabat negara tak kunjung selesai. Birokrasi-birokrasi sesat masih
saja ditemukan dan diterapkan, meskipun pergantian rezim dilakukan,
anehnya tidak menampakkan hasil yang signifikan dalam mengatasi
problematika ini.
Ironisnya lagi, hukum sebagai rekayasa sosial
masyarakat dibuat hanya sebagai penjustifikasian terhadap tingkah
laku orang-orang yang mampu dalam segi finansial. Artinya hukum yang
mempunyai berbagai macam nilai, keadilan ,kemanfaatan dan kepastian
berafiliasi pada kaum-kaum borjuis, sehingga mengaburkan nilai dari
hukum itu sendiri. Inilah praktek demokrasi tak bernyawa, eksistensi
diterapkan esensi dari spirit of demokrasi dikaburkan dan tak berasa,
yang bermuara pada kekuasaan buta tuli. Rakyat yang dikatakan dalam
demokrasi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi (dari rakyat, oleh
rakyat, untuk rakyat), hanya sebatas pemberian legitimasi dalam
tindak tanduk dewan perwakilannya, tidak mencerminkan dari suara
pemberinya. Pemerintah dalam konteks demokrasi adalah penerima amanat
rakyat yang dianggap mampu untuk menyelenggarakan roda pemerintahan
sesuai cita-cita kolektif dalam kehidupan kebangsaan.
Inilah potret realitas kehidupan saat ini, banyak kaum
intelektual mengatakan ini ada suatu yang salah dan semua mengamini
letak kesalahan pada sistem yang ada dan harus dirubah. Apalah arti
dari perubahan sistem jika tidak adanya suatu nilai kebajikan
(virtue) dalam moral dan sikap, baik itu pada pemerintah maupun yang
diperintah. Tentunya ini harus diimbangi dengan pendidikan karakter
bahwasannya antara rakyat dengan pemerintah berintelek, sejalan
dengan pendapat para ahli, demokrasi akan berhasil baik jika
pemerintah dan yang diperintah berintelektual dan begitupun
sebaliknya.
Semakin
hari rakyat apatis terhadap partai politik, kehadiran partai politik
yang dianggap sebagai pembawa aspirasi kepentingan dari masyarakat
sebagi konstituennya bertolak belakang. Masyarakat beranggapan bahwa
partai politik hanya biangnya dari kerusakan negeri ini, melahirkan
orang-orang jahat. Jangankan berkecipung dalam partai mendengar pun
merekah sudah sangat malas sekali, anehnya lagi masyarakat yang
berintelektual tinggi mengikuti hal demikian. Tentuya tidak dapat
dipersalahkan opini yang demikian itu timbul dari kekecewaan yang
melahirkan ketidakpercayaan (distrust).
Merupakan suatu tantangan bagi partai politik untuk berbenah diri dan
dapat melahirkan orang-orang yang berkompeten sesuai dengan aspirasi
masyarakatnya.
Maka demokrasi kekuasaan, harus benar-benar
mencerminkan dari kepentingan kolektif bukan kepentingan individu
mapun kelompok, agar terwujudnya cita-cita kolektif dan dapat
mengeluarkan bangsa ini dari keterpurukan. Apabila hal demikian itu
dapat di jalankan oleh partai politik sebagai alat atau sarana untuk
mencapai kekuasaan, tidak mungkin apatisme masyarakat akan melingkupi
demokrasi ini. Pendidikan politik sangat perlu diberikan kepada
masyarakat, supaya meminimalisir dan membangun kesadaran politik,
jadi partai politik harus hadir setiap saat ditengah kegamangan dan
kesemrawutan problem sebagai mediasi sekaligus problem solving.






Best Slots in 2021: 200+ casino games
BalasHapusAll 라이브스코어사이트 of our 200+ casino 바카라 커뮤니티 games offer a huge variety of bonus games, and we're 윌리엄 힐 looking to make the most out of this collection. These 온라인포커 games 온라인 포커 추천 offer