Rabu, 22 April 2015

OPINI

DEMOKRASI KEKUASAAN DALAM BINGKAI APATISME
( Antara harapan dan kenyataan )

oleh : Candra Saputra


Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, problematika datang silih berganti. Entah itu mengenai kehidupan sosial masyarakat, budaya, ekonomi, politik maupun hukum. Namun problematika adalah sebuah fenomena dinamika, dari yang baik menjadi buruk atau dari yang buruk menjadi baik, bergantung kepada siapa yang menjadi panglima dalam memimpin di arena gejolak arus zaman.
Dewasa ini, ada tantangan mengkhawatirkan yang dihadapi teori dan praktek Demokrasi, antara harapan dan kenyataan berbanding terbalik. Demokrasi yang telah mencatatkan sejarahnya menjadi sebuah kemenangan historis atas bentuk-bentuk pemerintahan yang lain, tak mampu mengeluarkan kondisi bangsa ini dari keterpurukan. Bahkan jika boleh di ibaratkan sebuah penyakit yang sangat kronis dan kompleks sudah mencapai titik nadir, tinggal menunggu ajal menjemput. Maka timbulah suatu pertanyaan, apa yang salah dengan suatu azimat bernama Demokrasi? Yang selalu dielu-elukan, disanjung-sanjung, bahkan dipuja-puja bak Dewa penyelamat yang dapat mengeluarkan bangsa ini dari keterpurukan. Namun alhasil, hanya sebuah pepesan kosong belaka.
Demokrasi bukan lah sistem politik tanpa cela berwajah kesempurnaan. Hampir setiap orang mengaku sebagai seorang demokrat, semua jenis rezim politik diseluruh lapisan dunia mengklaim dirinya sebagai rezim demokrasi. Sampai-sampai semua segala lini kehidupan haruslah demokratis. Tentulah dalam setiap negara memiliki suatu sistem pemerintahan masing-masing, banyak yang menganut ajaran montesqiue mengenai perlunya pembagian kekuasaan dan pembatasan dalam suatu negara, sebab jika tiada pembagian dan pembatasan kekuasaan di khawatirkan kekuasaan ditangan seseorang akan menjadi mutlak, dan kekuasaan yang mutlak cenderung di salah gunakan.
Dalam sejarah teori Demokrasi, adanya letak suatu konflik yang sangat tajam, mengenai apakah demokrasi harus berarti suatu jenis kekuasaan rakyat atau suatu bentuk bantuan bagi pebuatan keputusan. Apabila demokrasi diartikan sebagai jenis kekuasaan rakyat adalah bentuk politik rakyat terlibat dalam pemerintahan dan pengaturan sendiri, jika diartikan sebagai bantuan bagi pembuatan keputusan adalah cara pemberian kekuasaan kepada pemerintah (voulunte de corps) melalui pemberian suara (voulunte general) secara periodik. Munculnya konflik ini menjadikan wajah demokrasi di bagi tiga bagian, demokrasi partisipasi atau langsung, liberal atau perwakilan, dan atas model dengan menggunakan sistem satu partai.
Konteks bangsa ini, yang bermuara pada bahtera bernama Indonesia, sistem politik demokrasi menggunakan beberapa jenis wajah, demokrasi partisipasi atau secara langsung dan liberal atau perwakilan. Berbicara demokrasi tidak terlepas dari partai politik. Dimana partai politik memiliki peran strategis dalam menuju kekuasaan, karena sebagai alat instrumen untuk mencapainya. Dilihat dar pejalanan historis bangsa ini tidak dapat mengejawantahkan berdirinya partai politik, mulai dari pra kemerdekaan hingga pasca reformasi, tetap menggunakan sistem multi partai dalam berdialektika demokrasi.
Partai politik berdiri sebagai suatu refleksi penting atas sistem demokrasi, namun demokrasi antara esensi dan eksistensi haruslah bersinergi agar terwujud suatu sistem lebih demokratis. Bangsa ini terjebak pada suatu prosedural-formalitas semata, tetapi esensinya dikaburkan atau pun hilang. Bisa dilihat ketika pesta pemilihan umum 5 tahun sekali (DPRD, DPR RI, DPD RI, Presiden serta Wakil Presiden) maupun pemilihan umum kepala daerah (pemilukada). Dalam hal ini tersurat memang melaksanakan pemilihan secara langsung, namun dibalik itu ada suatu yang tersirat ialah harapan adanya perubahan dalam semua lini kehidupan yang kompleks, tercapainya kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan sesuai dengan cita-cita kolektif kehidupan berbangsa dan bernegara.
Alih-alih berbicara demokrasi, para filsuf sepakat terhadap konsep demokrasi yang intinya suatu cerminan dari kekuasaan tertinggi yang dipegang oleh rakyat, muncul pameo bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. Ditinjau secara mekanisme tiada yang salah, namun implikasi yang dihasilkan demokrasi, masih jauh apa yang ingin dicita-citakan bangsa ini. Bahkan semakin hari semakin buruk, mulai dari ketimpangan kebijakan maupun keputusan pemerintah yang kontradiktif dengan kondisi rakyat hingga kasus-kasus menjerat pejabat negara tak kunjung selesai. Birokrasi-birokrasi sesat masih saja ditemukan dan diterapkan, meskipun pergantian rezim dilakukan, anehnya tidak menampakkan hasil yang signifikan dalam mengatasi problematika ini.
Ironisnya lagi, hukum sebagai rekayasa sosial masyarakat dibuat hanya sebagai penjustifikasian terhadap tingkah laku orang-orang yang mampu dalam segi finansial. Artinya hukum yang mempunyai berbagai macam nilai, keadilan ,kemanfaatan dan kepastian berafiliasi pada kaum-kaum borjuis, sehingga mengaburkan nilai dari hukum itu sendiri. Inilah praktek demokrasi tak bernyawa, eksistensi diterapkan esensi dari spirit of demokrasi dikaburkan dan tak berasa, yang bermuara pada kekuasaan buta tuli. Rakyat yang dikatakan dalam demokrasi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi (dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat), hanya sebatas pemberian legitimasi dalam tindak tanduk dewan perwakilannya, tidak mencerminkan dari suara pemberinya. Pemerintah dalam konteks demokrasi adalah penerima amanat rakyat yang dianggap mampu untuk menyelenggarakan roda pemerintahan sesuai cita-cita kolektif dalam kehidupan kebangsaan.
Inilah potret realitas kehidupan saat ini, banyak kaum intelektual mengatakan ini ada suatu yang salah dan semua mengamini letak kesalahan pada sistem yang ada dan harus dirubah. Apalah arti dari perubahan sistem jika tidak adanya suatu nilai kebajikan (virtue) dalam moral dan sikap, baik itu pada pemerintah maupun yang diperintah. Tentunya ini harus diimbangi dengan pendidikan karakter bahwasannya antara rakyat dengan pemerintah berintelek, sejalan dengan pendapat para ahli, demokrasi akan berhasil baik jika pemerintah dan yang diperintah berintelektual dan begitupun sebaliknya.
Semakin hari rakyat apatis terhadap partai politik, kehadiran partai politik yang dianggap sebagai pembawa aspirasi kepentingan dari masyarakat sebagi konstituennya bertolak belakang. Masyarakat beranggapan bahwa partai politik hanya biangnya dari kerusakan negeri ini, melahirkan orang-orang jahat. Jangankan berkecipung dalam partai mendengar pun merekah sudah sangat malas sekali, anehnya lagi masyarakat yang berintelektual tinggi mengikuti hal demikian. Tentuya tidak dapat dipersalahkan opini yang demikian itu timbul dari kekecewaan yang melahirkan ketidakpercayaan (distrust). Merupakan suatu tantangan bagi partai politik untuk berbenah diri dan dapat melahirkan orang-orang yang berkompeten sesuai dengan aspirasi masyarakatnya.
Maka demokrasi kekuasaan, harus benar-benar mencerminkan dari kepentingan kolektif bukan kepentingan individu mapun kelompok, agar terwujudnya cita-cita kolektif dan dapat mengeluarkan bangsa ini dari keterpurukan. Apabila hal demikian itu dapat di jalankan oleh partai politik sebagai alat atau sarana untuk mencapai kekuasaan, tidak mungkin apatisme masyarakat akan melingkupi demokrasi ini. Pendidikan politik sangat perlu diberikan kepada masyarakat, supaya meminimalisir dan membangun kesadaran politik, jadi partai politik harus hadir setiap saat ditengah kegamangan dan kesemrawutan problem sebagai mediasi sekaligus problem solving.











1 komentar:

  1. Best Slots in 2021: 200+ casino games
    All 라이브스코어사이트 of our 200+ casino 바카라 커뮤니티 games offer a huge variety of bonus games, and we're 윌리엄 힐 looking to make the most out of this collection. These 온라인포커 games 온라인 포커 추천 offer

    BalasHapus