Rabu, 22 April 2015

PERAN DAN FUNGSI MAHKAMAH KONSTISTUSI DALAM MENANGANI PERSELISIHAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH (PEMILUKADA)

PERAN DAN FUNGSI MAHKAMAH KONSTISTUSI DALAM MENANGANI PERSELISIHAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH
(PEMILUKADA)
 

BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Pasal 236 C Undang-undang No. 12 tahun 2008, perubahan kedua atas Undang-undang No. 32 tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, menggunakan istilah “sengketa” untuk pernyataan “Penanganan sengketa hasil perhitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 bulan sejak Undang-undang ini diundangkan”.1 Sementara itu Pasal 24C UUD 1945 atas perubahan ketiga digunakan istilah “Perselisihan”. Meskipun pengertian antara sengketa dan perseilisihan makannya sama, namun secara Bahasa Peraturan perundang-undangan tidak terdapat keseragaman (inkonsistensi) dalam penggunaan istilah tersebut. Seharusnya dipakai peristilahan atau terminologi yang seragam, guna menyelarasakan antara UUD 1945 dengan Undang-undang dibawahnya.
Undang-undang Dasar 1945 amandeman ketiga menetapkan lembaga peradilan baru berkenaan keberadaan Mahkamah Konstitusi. Kewenangan Mahkamah Konstitusi ditetapkan sebagai berikut :
  1. Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar
  2. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar
  3. Memutus pembubaran partai politik
  4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
  5. Memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden maupun Wakil Presiden bahwa telah tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai presiden dan wakil presiden.2

Semangat dari perubahan ketiga, mahkamah konstitusi memiliki regulasi yaitu undang-undang No. 24 tahun 2003, dimana wewenang Mahkamah Konstitusi sesuai dengan penjabaran pada pasal 24C UUD 1945, namun dalam hal ini kewenangan mahkamah konstitusi tidak mencantumkan penyelesaian sengketa pemilukada melainkan pemilihan umum yakni (DPRD,DPR RI,DPD RI,Presiden dan Wakil Presiden). Menurut teori muatan Konstitusi, apabila lembaga negara yang diberikan wewenang oleh konstitusi dan adanya suatu tambahan wewenang harus dicantumkan dalam konstitusi, mengingat Negara Indonesia memiliki landasan Konstitusi tertulis.

  1. Rumusan Masalah
  1. Bagaimana pengaturan Konstitusional merupakan wewenang Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi, dalam hal penyelesaian sengketa Pemilihan Kepala daerah, bagian Peran dan fungsi?
  2. Bagaimana landasan yuridis yang mengatur pemilihan kepala daerah hingga menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi sampai saat ini?

BAB II
PEMBAHASAN

    1. Pengaturan Konstitusional Wewenang Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara baru yang ada sesudah UUD 1945 di amandemen. Ketentuan UUD 1945, Mahkamah Konstitusi adalah salah satu badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, disamping Mahkamah Agung. Dalam UU No. 24 Tahun 2003 Pasal 2 disebutkan bahwah Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.3
Berangkat dari penjelasan diatas wewenang Mahkamah Konstitusi telah ditetapkan secara eksplisit dalam pasal 7B dan 24C UUD 1945, diulang dalam UU No.24 Tahun 2003, tentang Mahkamah Konstitusi. Namun ada suatu hal yang aneh ketika wewenang Mahkamah Konstitusi, berkaitan dengan penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah, karena dalam UUD 1945 tidak tercantum wewenang tersebut. Penambahan mengenai wewenang penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah kepada Mahkamah Konstitusi terdapat pada UU No. 12 Tahun 2008, tentang pemerintahan daerah pasal 236C yang berbunyi “Penanganan sengketa hasil perhitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 bulan sejak Undang-undang ini diundangkan”.
Apabila dilihat pada wewenang lembaga negara yang berhak menyelesaikan pemilihan kepala daerah adalah Mahkamah Agung, karena secara eksplisit wewenang Mahkamah Agung termaktub dalam UUD 1945 Pasal 24A, yang berbunyi “Mahkamah agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang terhadap undang-undang dan melaksanakan wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.” Merujuk pada wewenang Mahkamah Konstitusi yang merupakan lembaga negara dan wewenangnya diatur oleh UUD 1945, maka dapat disimpulkan Mahkamah Konstitusi inkonstitusional dalam hal menangani sengketa pemilihan kepala daerah.
Mengenai materi muatan Undang-undang Dasar keberadaannya dimaksudkan untuk menetapkan hak-hak dan kewajiban yang dimiliki oleh masyarakat (rakyat), hak-hak atau wewenang yang dimiliki oleh Pemerintah dalam arti luas, selain kewajiban yang harus dipenuhinya. Maka dengan demikian Undang-undang Dasar berfungsi untuk membatasi kewenangan alat-alat perlengkapan negara, sehingga jelaslah kewenangan tersebut. Pada prinsipnya menurut Wirjono Projodikoro Undang-undang Dasar menetapkan sekurang-kurangnya mengenai hak dan kewajiban warga negar, batas-batas wewenang dan kewajiban negara, serta berapa lama seseorang pejabat menduduki jabatannya4.
Berkenaan peran serta fungsi Mahkamah Konstitusi mengenai wewenang sudah diatur dan jelas di dalam UUD 1945, namun apabila ada penambahan wewenang mengenai penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah secara teori konstitusi dan teori perundang-undangan haruslah dicantumkan dalam UUD. Jika dilihat dalam perjalanan selama ini yang mengatur mengenai penambahan wewenang Mahkamah Konstitusi pada UU No 32 tahun 2004 jis. UU No. 8 Tahun 2005 dan UU No. 12 Tahun 2008, bukan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Menurut A Hamid S Attamimi Undang-undang organik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang-undang Dasar yang biasa berupa aturan dasar. Bahwa aturan dasar Negara merupakan sumber dan dasar bagi terbentuknya suatu undnag-undang yang merupakan peraturan perundang-undangan yaitu peraturan yang dapat mengikat secara langsung semua orang.5
Jadi kesimpulan menurut pendapat para ahli tersebut bahwa wewenang atau kekuasaan lembaga-lembaga negara secara prinsip harus diatur dalam Undang-undang Dasar, bukanlah dalam Undang-undang sebagai peraturan pelaksana dari undang-undang. Pengaturan wewenang lembaga negara dalam undnag-undang harus mendapat atribusi dari undang-undang dasar.
    1. Landasan Yuridis yang memberikan penambahan wewenang Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian sengketa Pemilihan Kepala Daerah
Tidak dapat disangkal bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Hal ini ditetapkan dalam pasal 24C UUD 1945, perubahan ketiga dan pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003. Namun perlu dicatat bahwa pengertian pemilihan umum dalam rumusan pasal tersebut mengacu kepada pengertian pemilihan umum sebagaimana diuraikan dalam pasal 22 E UUD 1945 perubahan ketiga6. Bukan pemilihan untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pemilihan Umum yang dimaksud pasal 24C adalah memilih DPRD,DPR RI,DPD,Presiden beserta Wakil Presiden. Sedangkan UU No. 32 Tahun 2004 tidak merujuk kepada ketentuan Pasal 24C UUD 1945.
Sudah dapat dipastikan bahwa keberadaan rumusan pasal 236A UU No.12 Tahun 2008, inkonstitusional dan bila demikian maka ketentuan pasal itu harus sekurang-kurangnya dibatalkan. Namun permasalahannya Mahkamah Konstitusi apakah mau membatalkannya, karena Mahkamah Konstitusi memiliki interest. Perhatikan kasus yang ditangani Mahkamah Konstitusi yang berujung pada pembatalan Pasal 50 UU No. 24 tahun 2003. Tidak menampik bahwa wewenang itu sangat perlu dan faktual telah dijalankan, namun secara konstitusional perlu adanya pembenahan. Setidak-tidaknya diatur dalam Undang-undang Mahkamah Kosntitusi bukan dalam undang-undang pemerintahan daerah.
Berangkat dari penjelasan diatas, pemilihan kepala daerah secara langsung masih timbulnya suatu perdebatan, karena dari implikasinya yang banyak negatif kemudian penyelarasan demokrasi perlu adanya pembahasan yang lebih lanjut lagi. Namun UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah memuat demikian mengenai pemilihan kepala daerah secara langsung. UU No. 22 Tahun 2007 tentang penyelenggaraan Pemilihan Umum memasukkan pilkada dalam pengertian Pemilu.7Pasal 24C UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memutus perselisihan hasil Pemilu.
Sejak Pemilihan Kepala daerah beserta Wakil Kepala Daerah dimasukkan dalam pengertian Pemilu yakni Pemilihan Umum Kepala Daerah (pemilukada), maka berdasarkan UU No. 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, penanganan perselisihan hasil Pemilu Umum Daerah (PHPU.D) dialihkan dari Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi.



BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Jadi kesimpulan menurut pendapat para ahli tersebut bahwa wewenang atau kekuasaan lembaga-lembaga negara secara prinsip harus diatur dalam Undang-undang Dasar, bukanlah dalam Undang-undang sebagai peraturan pelaksana dari undang-undang. Pengaturan wewenang lembaga negara dalam undnag-undang harus mendapat atribusi dari undang-undang dasar.
Sudah dapat dipastikan bahwa keberadaan rumusan pasal 236A UU No.12 Tahun 2008, inkonstitusional dan bila demikian maka ketentuan pasal itu harus sekurang-kurangnya dibatalkan. Namun permasalahannya Mahkamah Konstitusi apakah mau membatalkannya, karena Mahkamah Konstitusi memiliki interest. Perhatikan kasus yang ditangani Mahkamah Konstitusi yang berujung pada pembatalan Pasal 50 UU No. 24 tahun 2003. Tidak menampik bahwa wewenang itu sangat perlu dan faktual telah dijalankan, namun secara konstitusional perlu adanya pembenahan. Setidak-tidaknya diatur dalam Undang-undang Mahkamah Kosntitusi bukan dalam undang-undang pemerintahan daerah.


DAFTAR PUSTAKA

Projodikoro, Wirjono, Azas-azas Hukum Tata Negara di Indonesia, cetakan ketiga, Jakarta : Dian Rakyat, 1977
Attamimi, Hamid, Ilmu Perundang-undangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya, Jakarta : Sekretariat Konsorsium Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 1996
Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, Translated oleh Anders Wedberg, New York : Russel & Russel, 1973
Asshiddiqie, jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta : Konstitusi Press, 2005
Undang-undang Dasar 1945
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003, Tentang Mahkamah Konstitusi
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008, atas perubahan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007, Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum
















1 Undang-undang No. 12 Tahun 2008,Tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 236C

2 Undang-undang Dasar 1945, Pasal 24 C, berkenaan wewenang Mahkamah Konstitusi

3 Undang-undang No. 24 Tahun 2003, Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 2

4 Wirjono Projodikoro, Azas-azas Hukum Tata Negara di Indonesia, cetakan ketiga, Jakarta : Dian Rakyat, 1977, hlm. 11

5 A Hamid S Attamimi, Ilmu Perundang-undangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya, Jakarta : Sekretariat Konsorsium Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 1996, hlm. 34-35

6 Undang-undang Dasar 1945, Pasal 22E

7 Pasal 1 angka 4, Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang penyelenggaraan Pemilihan Umum

0 komentar:

Posting Komentar