PILKADA : AJANG DEMOKRASI FAIR PLAY
BUKAN AJANG PLAY FAIR
Problematika terus menerus
terjadi di Negara ini. Ibarat penyakit fisik, Dokter mungkin mengatakan sudah
stadium 4 alias tidak dapat tertolong lagi. Bukan bangsa Indonesia namanya jika
tak bisa mengobati diri sendiri, namun anehnya sudah sering sakit tapi tidak
mau belajar dari penyakit yang sudah terjadi malah menambah dan menumpuk
penyakit. Baru-baru ini anggota dewan yang katanya terhormat membuat geger
masyarakat. Azimat demokrasi yang perwujudan dari kedaulatan rakyat di gugat
oleh beberapa golongan untuk di kebiri, namun Tuhan masih berkehendak dan
melindungi sehingga tak sampai terjadi. Walhasil sakit hati tapi tak sampai
bunuh diri.
Pilkada merupakan
perwujudan demokrasi dalam hal pemilihan pemimpin atau kepala daerah baik
Gubernur maupun Bupati/Walikota secara demokratis yang akan dilaksanakan secara
serentak dalam hitungan bulan pada tahun ini, bagi daerah yang telah siap untuk
melaksanakannya. Bagi yang belum siap maka pilkadanya akan diundur sesuai
amanat UU No. 8 Tahun 2015, tentang pilkada. Dalam ajang pilkada tentu kandidat
yang maju lahir dari berbagai latar belakang baik yang diusung oleh partai
politik tertentu, gabungan partai politik dalam istilah koalisi maupun
independent. Membutuhkan pendekatan kemasyarakat dengan berbagai macam cara.
Mulai dari memberikan bantuan secara kolekftif, individu (money politik) maupun
kampanye visi misi atau program kerja. Dengan sadar Negara sudah mengatur
secara jelas dan tegas berkaitan dengan tata cara bagaimana permainan dilakukan
secara sportif (Fair Play). Untuk kandidat yang belum pernah maju atau
sudah pernah maju tapi tak terpilih dalam ajang pilkada membutuhkan ekstra
kerja keras menarik konstituen, sedangkan bagi kandidat yang petahana ini
dengan mudah menarik konstituen karena sudah terbukti dalam hal kinerjanya. apakah
kandidat petahana ini dalam ajang pilkada dapat menjamin tidak menggunakan
kekuasaan dalam menarik konstituennya?, karena banyaknya kampanye yang
dilakukan selalu saja menimbulkan berbagai macam masalah. Dari mulai APK (alat
perga kampanye) yang penempatannya tidak sesuai dengan aturan hingga mendahului
kampanye dari jadwal yang ditentukan.
Perspektif Yuridis
Keluarnya
UU No. 8 tahun 2015 atas perubahan UU No. 1 Tahun 2015 tentang penetapan
peraturan pemerintah pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2014 tentang pemilihan
Gubernur, Bupati dan Walikota, telah tegas menyebutkan dalam Pasal 7 huruf q,
bahwa calon yang sudah ditetapkan oleh KPU dengan berbagai pertimbangan syarat
menjadi calon tidak berstatus sebagai pejabat Gubernur, Bupati dan Walikota.
Artinya, bahwa calon yang akan maju dalam pemilihan kepala daerah harus tidak
memangku jabatan politis tersebut, diperuntukkan agar calon yang petahana tidak
menggunakan kekuasaannya dalam waktu kampanye nanti. Selaras dengan bunyi Pasal
70 ayat (1), di dalam kampanye pasangan calon dilarang melibatkan, pejabat
BUMN/BUMD, aparatur sipil baik Kepolisian maupun TNI, serta aparat desa.
Pasal 70 ayat (2) berbunyi
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dengan Wakil
Walikota dapat mengikuti kampanye dengan mengajukan izin cuti sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-perundangan yang berlaku. Sedangkan Pasal 70 ayat
(3) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dengan Wakil
Walikota yang mencalonkan lagi dalam daerah yang sama, dalam pelaksanaan
kampanye haruslah tidak menggunakan fasilitas terkait dengan jabatannya,
menjalani cuti diluar tanggungan Negara dan pengaturan lama cuti dan jadwal
cuti dengan memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan pemerintah
daerah. Dimaksudkan untuk memberikan ruang demokrasi yang fair play bagi
seluruh kandidat Pilkada.
Perspektif Marketing
Politik
Pilkada merupakan ajang
bergengsi di dalam pertarungan konstelasi politik untuk meraih kekuasaan di
ranah daerah-daerah. Begitu banyak kandidat yang bertaruh didalam pilkada bukan
hanya calon namun pengusung calonnya pun bertaruh dengan berbagai macam
strategi guna meraup suara sebanyak-banyaknya. Untuk yang menggunakan kendaraan
partai politik maka strategi diatur sedemikian rupa agar mulus dalam meraup
suara. Sedangkan bagi yang independent harus ekstra keras dalam menarik suara
konstituennya. Dengan demikian untuk memenangkan Pilkada maka pemasaran politik
(Marketing Politik) menyediakan berbagai macam senjata yang diperlukan. Mulai
dari partai politik menyeleksi kader terbaik untuk dicalonkan, tentunya ini
sangat penting dalam mendulang suara sebanyak-banyaknya hingga para pelaku
marketing politik memetakan kekuatan suara para kandidat-kandidat. Dimaksudkan
untuk melihat seberapa peluang kemenangan yang dicapai.
Calon petahana sangat
diperhitungkan dalam pilkada kembali, karena dengan mengusung petahana ini
partai politik tidak bersusah payah dalam membuat strategi jitu untuk meraup
suara, karena petahana ini sudah dikenal oleh masyarakat serta memiliki
kekuasaan yang mana suatu saat jika terdesak dapat digunakan untuk meraup suara
dengan melakukan kampanye dan mengetahui program-program yang belum
terrealisasikan sebagai bahan kampanye. Strategi pemasaran politik sangat
membantu untuk menyukseskan kandidat dengan segala aktifitasnya, dimulai dari
segmentasi politik, targeting politik, positioning politik dan bauran produk
politik.
Analisa
Kandidat pilkada
petahana maupun non petahana bertarung dalam ajang bergengsi demokrasi,
melibatkan berbagai macam konstelasi politik untuk meraup suara sebanyak
mungkin sebagai salah satu yang akan memangku jabatan politis kepala daerah. Strategi politik atau pemasaran
politik sering kali digunakan sebagai alat dalam meraup suara. Namun tidak adil
jika kandidat petahana maju dengan menggunakan sarana dan prasarana
kekuasaannya untuk melakukan kampanye dalam pencalonan kembali. fakta
membuktikan kepala daerah yang masih menjabat jabatan tersebut sering kali
melanggar aturan yang berlaku hingga APK yang tidak sesuai dengan aturan sampai
kampanye dilakukan lebih dahulu sebelum jadwal ditentukan. Alih-alih program
kerja yang harus diselesaikan blusukan ke masyarakat ini menjadi alat untuk
melakukan kampanye yang terselubung. Namun sayangnya badan pengawas pemilu
tidak menyadari akan hal itu.
Izin cuti dilakukan ketika
waktu kampanye sudah diberikan oleh KPU maka seluruh kandidat dapat melakukan
kampanye secara damai dan terbuka. Akan tetapi kandidat petahana sudah melampaui
batasnya, jika non petahana melakukan kampanye pada saat waktu yang ditentukan
maka mudahnya bagi petahana untuk melakukan kampanye dulu. Ini jelas-jelas
sudah melanggar aturan UU No. 8 Tahun 2015, tentang Pilkada Pasal 70 ayat (3) ,maka
perlu sikap tegas dilakukan oleh badan pengawas pemilu maupun badan
penyelenggara pemilu didaerah untuk lebih sigap dan tanggap bukan malah habis
perkara dilaporan. Jika ini selalu saja terjadi maka tingkat pasrtisipatif
masyarakat semakin hari semakin menurun. Padahal kesuksesan Demokrasi menjadi
tolak ukurnya adalah partisipasi masyarakat, semakin tinggi jumlah pemilih
dalam menentukan suaranya semakin tinggi pula keberhasilan demokrasi ini.






0 komentar:
Posting Komentar