PERBANDINGAN KONSTITUSI NEGARA SWISS DAN INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konstitusi merupakan sesuatu yang sangat penting bagi setiap bangsa dan negara, baik yang sudah lama merdeka maupun yang baru
saja memperoleh kemerdekaannya. Melalui konstitusi kita dapat melihat sistem ketatanegaraan suatu negara. Konstitusi
merupakan hukum yang dianggap paling tinggi tingkatannya di setiap negara.
Istilah konstitusi pada mulanya berasal dari perkataan latin, constitutio yang berkaitan dengan kata jus atau ius yang
berarti “hukum atau prinsip”.[1] Di zaman modern, bahasa yang biasa dijadikan sumber rujukan mengenai istilah konstitusi
adalah Inggris, Jerman, Perancis, Italia dan Belanda. Untuk pengertian constitution dalam bahasa Inggris, bahasa Belanda
membedakan antara constitutie dan grondwet, sedangkan bahasa Jerman membedakan antara verfassung dan grundgesetz seperti
antara grondrecht dan grondwet dalam bahasa Belanda.[2]
Istilah konstitusi menurut Wirjono Prodjodikoro berasal dari kata kerja “constituer” dalam bahasa Perancis yang berarti
“membentuk”, jadi konstitusi berarti pembentukan. Konstitusi mengandung permulaan dari segala macam peraturan pokok mengenai
sendi-sendi pertama untuk menegakkan bangunan besar yang bernama negara. K.C. Wheare F.B.A dalam bukunya Modern Constitution
menjelaskan istilah konstitusi dapat dibedakan kedalam dua pengertian : [3]
1. Istilah konstitusi dipergunakan untuk menunjuk kepada seluruh aturan (rules)mengenai sistem ketatanegaraan.
2. Istilah Konstitusi menunjuk kepada suatu dokumen atau beberapa dokumen yang memuat aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan
tertentu yang bersifat pokok atau dasar saja mengenai ketatanegaraan suatu negara.
Konstitusi memiliki fungsi-fungsi yang oleh Jimly Asshidiqie diperinci sebagai berikut :[4]
1. Fungsi penentu dan pembatas kekuasaan organ negara.
2. Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antarorgan negara.
3. Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antarorgan negara dengan warganegara.
4. Fungsi pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan negara ataupun kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara.
5. Fungsi penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan yang asli (yang dalam sistem demokrasi adalah
rakyat ) kepada organ negara.
6. Fungsi simbolik sebagai pemersatu (symbol of unity) sebagai rujukan identitas dan keagungan kebangsaan (identity of
nation) serta sebagai center of ceremony.
7. Fungsi sebagai sarana pengendali masyarakat (social of unity), baik dalam arti sempit hanya di bidang politik, maupun
dalam arti luas mencakup bidang sosial dan ekonomi.
8. Fungsi sebagai sarana perekayasa dan pembaruan masyarakat (social engineering atau social reform).
Konstitusi dengan istilah lain constitution atau verfasung dibedakan dari undang-undang dasar atau groundgezetz. Herman
Heller menyatakan bahwa konstitusi mempunyai arti lebih luas dari undang-undang dasar.[5] Sedangkan menurut pendapat Solly
Lubis bahwa konstitusi memiliki dua pengertian yaitu konstitusi tertulis (Undang-undang dasar) dan konstitusi tidak tertulis
(konvensi).[6] Bentuk Konstitusi itu sebetulnya tidak ada keharusan tertulis maupun tidak tertulis. Bagi negara yang
menggunakan konstitusi yang tidak tertulis seperti Inggris dan Canada tetap dianggap mempunyai dan mengunakan konstitusi.[7]
Pembedaan konstitusi tertulis dengan konstitusi tidak tertulis tidak mutlak benar. Menurut CF Strong ketika menjelaskan
mengenai perbandingan konstitusi dalam bukunya yang berjudul Modern Political
Constitutions[8] mengatakan bahwa sebenarnya pembedaan konstitusi tertulis dan tidak tertulis tidaklah benar karena tidak
ada konstitusi yang benar-benar tertulis maupun yang benar-benar tidak tertulis. Yang disebut tertulis biasanya dimaksudkan
sebagai dokumen konstitusi yang mempunyai kesakralan khusus sedangkan yang tidak tertulis adalah konstitusi yang berkembang
atas dasar adat istiadat (costum). Negara Inggris yang dikatakan tidak memiliki konstitusi tertulis sebenarnya memiliki
berbagai hukum dan undang-undang tertulis yang memodifikasi berbagai ketentuan konstitusi seperti the Bill of Rights (1689).
Sebaliknya Amerika Serikat yang dikatakan sebagai negara paling lengkap konstitusi tertulisnya ternyata juga memiliki
konstitusi tidak tertulis karena disana telah tumbuh dan berkembang konvensi tidak tertulis tanpa adanya amandemen yang
sebenarnya atas konstitusi itu sendiri.[9]
Sebagian besar negara di dunia menggunakan konstitusi berupa konstitusi tertulis termasuk negara Indonesia dan negara Swiss.
Dalam Makalah ini akan dilakukan perbandingan konstitusi dari segi muatan konstitusi kedua negara tersebut sehingga akan
diperoleh perbedaan dan persamaan dari masing-masing konstitusi serta akan diperoleh kelebihan serta kekurangannya sehingga
akan memperkaya wawasan serta pengetahuan kita mengenai hukum konstitusi.
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
Bagaimanakah perbandingan materi muatan konstitusi antara negara Indonesia dengan negara Swiss berdasarkan prinsip-prinsip
umum perubahan konstitusi, bentuk pemerintahan, bentuk negara, sistem pemerintahannya?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perbandingan Berdasarkan Prinsip-Prinsip Umum Perubahan Konstitusi
1. Perbandingan berdasarkan Sistem Amandemen
Kata amandemen berasal dari bahasa Inggris yaitu amendment yang berarti perubahan atau to amend, to alter, to revise.[10]
Perubahan ini dapat berupa pencabutan (repeal), penambahan (addition), dan perbaikan (revision). Istilah lain dari perubahan
adalah pembaharuan (reform). Jadi Pengertian Perubahan konstitusi mencangkup dua pengertian yaitu:
1. Amandemen Konstitusi (constitutional amendment)
2. Pembaruan Konstitusi(constitutional reform).
Jadi sistem yang dianut oleh negara-negara dalam mengubah konstitusi dapat digolongkan ke dalam dua sistem perubahan yaitu :
1. Apabila suatu konstitusi diubah maka yang akan berlaku adalah konstitusi yang baru secara keseluruhan, sehingga tidak
ada kaitannya lagi dengan konstitusi lama. Sistem ini masuk kategori Pembaruan Konstitusi(constitutional reform). Sistem ini
dianut oleh hampir semua negara di dunia, diantaranya adalah Belanda, Jerman, dan Perancis.[11]
2. Sistem perubahan konstitusi dimana konstitusi asli tetap berlaku sementara bagian perubahan konstitusi tersebut
merupakan adendum atau sisipan dari konstitusi asli. Bagian yang diamandemen menjadi bagian konstitusinya. Jadi antara bagian
perubahan dan bagian konstitusi aslinya masih terkait. Keberlakuan konstitusi dengan sistem perubahan inipun masih didasarkan
kepada saat berlakunya konstitusi yang lama, sehingga nilai-nilai lama dalam konstitusi asli yang belum diubah masih tetap
eksis. Sistem perubahan dengan istilah amandemen ini dianut oleh Amerika Serikat..[12]
Perubahan konstitusi di Indonesia dari perubahan pertama sampai dengan keempat UUD 1945 mengikuti sistem amandemen seperti di
Amerika Serikat. Mahfud MD menyebutkan kelemahan-kelemahan UUD 1945 sehingga perlu perubahan diantaranya:[13]
1. UUD 1945 membangun sistem politik yang executive heavy dengan memberi porsi yang sangat besar kepada kekuasaan presiden
tanpa adanya mekanisme checks and balances yang memadai;
2. UUD 1945 terlalu banyak memberi atribusi dan delegasi kewenangan kepada presiden untuk mengatur lagi hal-hal penting
dengan UU maupun dengan PP;
3. UUD 1945 memuat beberapa pasal yang ambigu atau multitafsir
sehingga bisa ditafsirkan dengan macam-macam tafsir, tetapi tafsir yang harus diterima adalah tafsir yang dibuat oleh
presiden;
4. UUD 1945 lebih mengutamakan semangat penyelenggara negara daripada sistemnya.
Pada sidang tahunan MPR tahun 1999, seluruh Fraksi di MPR sepakat membuat arah perubahan UUD 1945 yaitu :
1. Sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945.
2. Sepakat untuk mempertahankan bentuk NKRI.
3. Sepakat untuk mempertahankan sistem presidensiil .
4. Sepakat untuk memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal-pasal UUD 1945.
5. Sepakat menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945.[14]
Berdasarkan kesepakatan tersebut dan dikaitkan dengan perubahan UUD 1945 amandemen dari tahun 1999 sampai dengan 2002, maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan pertama hingga ke empat UUD 1945 berdasarkan sistem amandemen konstitusi
(constitutional amendment).
Secara keseluruhan Amandemen Pertama hingga ke empat UUD 1945 meliputi hampir keseluruhan materi dalam UUD 1945. Naskah Asli
UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan. Namun pada amandemen UUD 1945 yang keempat materi mencangkup 199 butir ketentuan.[15]
Dengan melihat jumlah materi yang bertambah bisa dikatakan hampir ada perubahan pada seluruh pasal yang berarti sama saja
dengan merubah konstitusi lama menjadi konstitusi yang baru. Namun ini tetap sistem amandemen karena perubahan amandemen UUD
1945 tetap mempertahankan pembukaan UUD 1945, dan perubahan hanya pada batang tubuh serta menghilangkan penjelasan pada UUD
1945 asli. Perubahan pertama sampai dengan ke empat UUD 1945 merupakan perubahan berdasar sistem amandemen yang berlaku
sekarang.
Perubahan UUD 1945 mengikuti sistem amandemen meskipun jumlah materi muatan perubahan lebih besar daripada naskah aslinya
karena yang utama dalam sistem amandemen adalah berlakunya konstitusi yang telah diubah itu tetap berdasar pada saat
berlakunya konstitusi asli, perubahan redaksi dan atau substansi atas beberapa pasal atau ketentuan tersebut dijadikan
sebagai adendum atau lampiran konstitusi asli. Jadi sedikit banyaknya jumlah ketentuan dalam konstitusi yang diubah bukan
merupakan penentu sistem amandemen.[16]
Mengenai sistem perubahan konstitusi di Swiss pada awalnya menggunakan kategori Pembaruan Konstitusi (constitutional reform).
Adapun istilah yang digunakan dalam perubahan konstitusi di Swiss adalah revision. Pada tahun 1999, Konstitusi Federal Swiss
1874 telah digantikan oleh Konstitusi Baru (berlaku sejak 1 Jan 2000) mengintegrasikan sekitar 150 revisi kecil menjadi teks,
baru konsolidasi tanpa secara radikal mengubah struktur Federasi Swiss.[17] Konstitusi Swiss 1999 tersebut terus mengalami
perubahan hingga sekarang dengan langsung memasukkan materi perubahan yang baru dalam Konstitusi
Federal Swiss. Ini merupakan pembaharuan naskah lama menjadi naskah yang baru dengan menambah materi perubahan dalam
Konstitusi.
2. Perubahan Konstitusi secara Formal dan di Luar Cara Formal
Perubahan Konstitusi dapat berubah atau diubah melalui :
1. Jalan Yuridis Formal yaitu dilakukan sesuai dengan ketentuan formal mengenai perubahan konstitusi yang terdapat dalam
konstitusi sendiri dan mungkin juga diatur dalam peraturan perundangan yang lain.
2. Jalan nonyuridis formal yaitu perubahan konstitusi tersebut terjadi karena sebab tertentu atau keadaan khusus yang
mendorong terjadinya perubahan konstitusi baik perubahan konstitusi secara total maupun sebagian ketentuan saja sesuai dengan
kebutuhannya.[18]
Menurut pendapat George Jellinek yang membedakan dua cara perubahan konstitusi melalui cara Verfassungsanderung dan
Verfassungswandlung. Perubahan konstitusi yang dilakukan dengan sengaja menurut tata cara yang diatur oleh konstitusi disebut
sebagai Verfassungsanderung. Sedangkan Verfassungswandlung merupakan yaitu perubahan konsitusi yang dilakukan tidak
berdasarkan cara formal yang ditentukan oleh konstitusi sendiri melainkan melalui jalur istimewa seperti revolusi,
kudeta(coup d’etat),konvensi dan sebagainya.[19]
Dua cara perubahan konstitusional tersebut dapat dikembangkan
lagi menjadi empat macam cara. Menurut K.C.Wheare mengenai metode
perubahan terhadap konstitusi atau UUD ada empat cara yaitu :
1. Formal amendment atau perubahan resmi ialah perubahan konstitusi yang dilakukan sesuai ketentuan yang terdapat dalam
konstitusi.
2. Some primary force merupakan perubahan konstitusi yang terjadi akibat kekuatan-kekuatan yang bersifat primer, seperti
dorongan politik.
3. Judicial Interpretation merupakan perubahan konstitusi melalui penafsiran hakim atau pengadilan
4. Usage and convention merupakan perubahan konstitusi oleh suatu kebiasaan dan konvensi yang lahir apabila ada kesepakatan
rakyat.[20]
Menurut CF Strong dalam bukunya “ Modern Political Constitutions” bahwa prosedur perubahan konstitusi secara formal dapat
dilakukan oleh :
1. Oleh pemegang kekuasaan legislatif, tetapi menurut pembatasan-pembatasan tertentu.
2. Perubahan Konstitusi yang dilakukan oleh rakyat secara langsung melalui suatu referendum
3. Oleh utusan negara negara bagian , khusus di negara negara serikat.
4. Dengan kebiasaan ketatanegaraan atau Perubahan oleh suatu lembaga negara khusus yang dibentuk hanya untuk keperluan
perubahan.[21]
Miriam Budiarjo mengemukakan empat macam prosedur, yang
pada dasarnya sama dengan yang dikemukakan oleh CF Strong, yaitu:
1. Sidang badan legislatif dengan ditambah beberapa syarat, misalnya
ditetapkan kuorum untuk sidang yang membicarakan usul perubahan undang-undang dasar dan jumlah minimum anggota badan
legislatif untuk menerimanya (Belgia, RIS 1949);
2. Referendum atau plebisit (Swiss, Australia);
3. Negara-negara bagian dalam negara federal (Amerika Serikat: ¾ dari lima puluh negara-negara bagian harus menyetujui;
India);
4. Musyawarah khusus(special convention) (beberapa negara Amerika Latin).[22]
Untuk Indonesia menggunakan perubahan konstitusi melalui jalur formal yaitu prosedur perubahan konstitusi melalui pemegang
kekuasaan legislatif dalam UUD 1945. Menurut CF Strong perubahan konstitusi melalui lembaga legislatif dapat terjadi melalui
tiga macam kemungkinan sebagai berikut :[23]
1. untuk mengubah konstitusi adalah sidang pemegang kekuasaan legislatif harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya
sejumlah anggota tertentu yang disebut dengan kuorum.
2. lembaga perwakilan rakyat harus dibubarkan kemudian diselenggarakan pemilihan umum. Lembaga
perwakilan rakyat yang
diperbarui ini lalu melaksanakan wewenangnya mengubah konstitusi.
3. Kemungkinan ketiga ini terjadi dan berlaku dalam sistem dua kamar bahwa untuk mengubah konstitusi, kedua kamar
lembaga perwakilan
rakyat harus mengadakan sidang gabungan dengan syarat-syarat seperti dalam cara kesatu yang berwenang mengubah
konstitusi.
Perubahan konstitusi yang digunakan Indonesia melalui pemegang kekuasaan legislatif menggunakan kemungkinan pertama yaitu
sidang pemegang kekuasaan legislatif yang harus dihadiri sekurang-kurangnya sejumlah anggota tertentu (kuorum) yang diatur
dalam Pasal 37 UUD 1945. Cara perubahan Konstitusi UUD 1945 mencangkup dua hal yaitu perubahan konstitusi menurut Pasal 37
UUD 1945 Asli dan menurut pasal 37 UUD 1945 amandemen keempat. Cara Perubahan UUD 1945 Menurut Pasal 37 Sebelum Perubahan
menyebutkan:[24]
1. Untuk mengubah UUD sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota MPR harus hadir;
2. Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota yang hadir.
Dari ketentuan tersebut diatas mengandung tiga norma, yaitu:
1. Bahwa wewenang untuk mengubah UUD ada pada MPR sebagai lembaga tertinggi negara;
2. Bahwa untuk mengubah UUD, kuorum yang harus dipenuhi sekurang-kurangnya adalah 2/3 dari seluruh jumlah anggota MPR;
3. Bahwa putusan tentang perubahan UUD adalah sah apabila disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari anggota MPR yang
hadir.[25]
jika di lihat dari sisi persyaratan kuorum sidang yang harus dihadiri
oleh 2/3 (66,66%) dari jumlah anggota majelis, maka sebenarnya cara perubahan demikian dapat dilakukan tergolong sulit,
karena kurang dari satu orang anggota saja yang tidak hadir dalam kuorom dapat dinyatakan tidak sah.[26] Selanjutnya
pelaksanaan perubahan konstitusi diatur dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata
Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Tap ini sebagai pedoman majelis alam melaksanakan tugas dan
wewenangnya termasuk melaksanakan perubahan UUD 1945.[27]
Sedangkan cara Perubahan UUD 1945 Menurut Pasal 37 Amandemen keempat pada prinsipnya tidak ada perbedaan sebelum dan sesudah
perubahan UUD 1945 mengenai kewenangan MPR dalam melakukan perubahan undang undang dasar. Perbedaannya terletak pada prosedur
dan jumlah kuorum. Menurut Pasal 37 UUD 1945 Amandemen keempat yang menyebutkan :
1. Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila
diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
2. Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang
diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
3. Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
4. Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen
ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
5. Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.[28]
Selain tata cara perubahan menurut pasal 37 tersebut, juga diamanatkan melalui Ketetapan MPR No. I/MPR/2002 tentang
Pembentukan Komisi Kontitusi. Akan tetapi, Komisi Konstitusi ini tidak berwenang mengubah UUD,[29] Menurut pasal 3 ayat I UUD
1945 yaitu yang berwenang mengubah UUD adalah MPR. Komisi Konstitusi ini terbentuk karena ada desakan dari masyarakat yang
menghendaki agar perubahan UUD 1945 dilakukan oleh lembaga di luar majelis.
Apabila kita melihat ketentuan pasal 37 UUD 1945 setelah amandemen dan ketetapan MPR No.1/MPR/2002 tentang perubahan yang di
atur dalam UUD 1945 telah memenuhi kriteria cara perubahan konstitusi. Cara perubahan konstitusi UUD 1945 setelah amandemen
telah mengikuti cara perubahan yang seusia dengan yuridis formal, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam konstitusi dan
melalui lembaga perwakilan rakyat yang bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Sementara Prosedur perubahan konstitusi dengan jalur formal yang digunakan oleh Swiss adalah menggunakan Referendum atau
plebisit. Referendum adalah semacam hak veto rakyat terhadap keputusan-keputusan tertentu Parlemen dan bersifat reaktif.
Walaupun Parlemen merupakan lembaga legislatif yang mempunyai kewenangan membuat undang-undang, namum masyarakat Swiss
mempunyai hak untuk melakukan intervensi kepada Parlemen, baik dalam hal pembuatan undang-undang, perubahan konstitusi maupun
keikutsertaan negara untuk menjadi anggota suatu organisasi internasional.[30] Referendum dalam Konstitusi federal Swiss
diatur dalam Pasal 138 sampai 139 Konstitusi Swiss 1999. Keputusan perubahan konstitusi federal diserahkan kepada rakyat
melalui referendum. Perubahan konstitusi dapat dilakukan secara total maupun sebagian. Untuk perubahan secara total harus
mengikuti ketentuan undang-undang federal yang dapat diusulkan oleh sebagian anggota sidang dewn federal atau seratus ribu
warga negara Swiss yang memiliki hak suara. Sedangkan perubahan konstitusi sebagian dapat dilakukan dengan inisiatif biasa
berupa permintaan yang diajukan pleh seratus ribu warga negara Swiss yang memiliki hak suara.[31]
3. Tingkat kesulitan Perubahan Konstitusi
Berdasarkan tingkat kesulian perubahan konstitusi maka konstitusi dapat diklasifikasikan bersifat luwes (flexible) atau kaku
(Rigid). Ukuran yang biasanya dipakai para ahli untuk menentukan suatu konstitusi bersifat luwes atau kaku adalah : (i)
apakah terhadap naskah konstitusi dimungkinkan dilakukan perubahan dan apakah cara mengubahnya mudah atau sulit, dan (ii)
apakah naskah konstitusi itu mudah atau tidak mudah mengikuti perkembangan zaman. Apabila Prosedur perubahan undang-undang
dasar diatur sedemikian berat dan rumit syarat-syaratnya maka termasuk rigid atau kaku. Sebaliknya bila undang-undang dasar
yang mensyaratkan tata cara perubahan tidak terlalu berat dengan pertimbangan tidak mempersulit perubahan sehingga
undang-undang dasar dapat disesuaikan dengan tuntutan perubahan zaman maka termasuk konstitusi yang fleksibel atau
luwes.[32] James Bryce dalam bukunya yang berjudul “Studies in History and Jurisprudence” sebagaimana dikutip oleh Sri
Soemantri menjelaskan tentang ciri-ciri pokok yang rigis antara lain mempunyai kedudukan dan derajat lebih tinggi dari
peraturan perundang-undangan yang lain, hanya dapat diubah dengan cara yang khusus atau istimewa seperti persetujuan rakyat
dalam referendum atau keputusan legislatif dengan suara terbanyak mutlak.[33]
Untuk naskah konstitusi yang bersifat luwes, perubahan undang-undang dasarnya tidak memerlukan cara yang istimewa melainkan
cukup dengan lembaga pembuat-undang-undang biasa dan persyaratannya mudah, perubahan konstitusi dapat dilakukan jika lebih
dari setengah jumlah anggota yang hadir atau cukup dilakukan dengan jalur setingkat undang-undang. Sedangkan konstitusi yang
rigid perubahannya dapat dilakukan :
1. Oleh Lembaga legislatif tetapi dengan pembatasan-pembatasan tertentu;
2. Oleh rakyat secara langsung melalui suatu referendum;
3. Oleh utusan-utusan negara bagian, khusus di negara-negara serikat;
4. ketatanegaraan atau oleh suatu lembaga negara yang khusus dibentuk untuk keperluan perubahan.[34]
Ada beberapa alasan mengapa negara-negara lebih suka memakai kontitusi rigid karena pertimbangan faktor keinginan para
pembentuk konstitusi untuk mempertahankan cita-cita fundamental mereka yang menjadi alasan atau latar belakang dibentuknya
negara tersebut.[35]
Dalam Konstitusi Indonesia Pasal 37 UUD 1945 sebelum amandemen, prosedur perubahan konstitusinya termasuk bersifat fleksibel
karena perubahan undang-undang dasar dapat dilakukan dengan dukungan tidak melebihi setengah dari jumlah anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR). Kemudian dalam pasal 37 UUD 1945 setelah amandemen keempat mekanisme prosedur perubahan sedikit
diperberat dengan dicantumkan ketentuan yang menegaskan untuk perubahan pasal undang-undang dasar hanya dapat dilakukan
apabila disetujui oleh lebih dari separuh jumlah anggota MPR.
Berbeda dengan prosedur perubahan konstitusi federal Negara Swiss yang bersifat rigid. diatur dalam pasal 138 sampai dengan
pasal 139 Konstitusi Swiss. Amandemen konstitusi memerlukan persetujuan dari mayoritas rakyat dan kanton.[36] Keputusan
perubahan konstitusi federal diserahkan kepada rakyat melalui referendum. Referendum adalah semacam hak veto rakyat terhadap
keputusan-keputusan tertentu parlemen dan bersifat reaktif. Walaupun Parlemen merupakan lembaga legislatif yang mempunyai
kewenangan membuat undang-undang, namun masyarakat Swiss mempunyai hak melakukan intervensi kepada Parlemen, baik dalam
pembuatan undang-undang, perubahan konstitusi dan keikutsertaan negara untuk menjadi anggota organisasi internasional.
Sistem referendum ini terdiri dari dua macam yaitu referendum obligatur berupa pemungutan suara secara langsung oleh rakyat
yang berhak mengeluarkan suara guna dimintai persetujuannya terhadap peraturan perundang-undangan yang baru. Yang kedua
adalah referendum fakultatif yaitu referendum yang dilaksanakan untuk meminta pendapat rakyat apakah suatu peraturan
perundang-undangan yang sedang berlaku masih tetap dapat dipertahankan, atau perlu dirubah, atau diganti dengan peraturan
perundang-undangan yang baru dan bersifat representatif.[37]
Perubahan konstitusi dapat dilakukan secara total atau sebagian.
Cara perubahan secara total harus mengikuti ketentuan undang-undang federal yang diusulkan oleh sebagian anggota sidang dewan
federal atau seratus ribu warga negara yang mempunyai hak suara. Sedangkan perubahan konstitusi sebagian dapat dilakukan
dengan inisiatif biasa, berupa permintaan yang diajukan oleh seratus ribu warga negara Swiss yang memiliki hak suara.[38]
B. Perbandingan Berdasarkan Bentuk Pemerintahan
Bentuk pemerintahan Indonesia adalah Republik bukan kerajaan (monarchi). Semenjak Indonesia merdeka dan membentuk negara
modern yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, bentuk pemerintahan yang dipilih adalah republik. Hal tersebut
dikarenakan falsafah dan kultur politik yang bersifat kerajaan yang didasarkan pada sistem feodalisme dan paternalisme tidak
dikehendaki oleh bangsa Indonesia modern. Bangsa Indonesia menghendaki negara modern dengan pemerintahan res republica.[39]
Bentuk pemerintahan negara Indonesia dengan negara Swiss sama-sama berbentuk republik dimana negara dikepalai oleh presiden
sebagai kepala negara untuk masa jabatan tertentu. Dalam bentuk pemerintahan republik, kepala pemerintahan dan kepala negara
ada di tangan Presiden. Namun ada beberapa perbedaan bila dilihat dari bentuk pemerintahan antara Indonesia dengan Swiss
antara lain :
1. Masa jabatan Presiden Indonesia Berdasarkan Pasal 7 UUD RI 1945
setelah amandemen menyatakan bahwa untuk jabatan presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan
sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Sedangkan untuk masa jabatan
Presiden dan wakil Presiden di Swiss berdasarkan Pasal 176 ayat 2 Konstitusi Swiss 1999 adalah satu tahun. Jabatan Presiden
di Swiss digilir di antara para Menteri Kabinet yang berjumlah 7 orang.[40]
2. Presiden di Indonesia dalam menjalankan pemerintahannya menunjuk
dan membentuk kabinet yang akan membantu dan mendukung presiden dalam menjalankan pemerintahannya dalam jumlah yang besar.
Namun pembentukan kabinet di Swiss hanya terdiri dari 7 orang Menteri Kabinet dipilih oleh Majelis Federal. Jumlah menteri
termasuk presiden dan wakil presiden hanya tujuh orang. Mereka disebut sebagai Federal Council atau Dewan Federal. Masa
jabatan dewan federal selama empat tahun. Mereka dipilih oleh DPR dengan mempertimbangkan komposisi partai yang ada di
parlemen. Dengan demikian, parlemen Swiss juga tidak mengenal sistem oposisi sebagaimana di parlemen negara Eropa
lainnya.[41]
C. Perbandingan Berdasarkan Bentuk Negara
Secara garis besar bentuk negara di dunia terbagi menjadi :
1. Negara Kesatuan dapat disebut sebagai negara unitaris adalah negara yang tidak tersusun dari beberapa negara melainkan
hanya terdiri atas satu negara sehingga tidak ada negara dalam negara. Dalam negara kesatuan hanya ada satu pemerintah yaitu
pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan dan wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan negara, menetapkan kebijakan
pemerintahan dan melaksanakan pemerintahan baik di pusat maupun didaerah.[42] Pemerintah pusat memegang kedaulatan
sepenuhnya, baik ke dalam maupun ke luar. Hubungan antara pemerintah pusat dengan rakyat dan daerahnya dapat dijalankan
secara langsung. Dalam negara kesatuan hanya ada satu konstitusi, satu kepala negara, satu dewan menteri (kabinet), dan satu
parlemen. Negara kesatuan dapat dibedakan menjadi dua macam sistem, yaitu Sentralisasi, dan Desentralisasi.
2. Negara Serikat adalah negara bersusunan jamak, terdiri atas beberapa negara bagian yang masing-masing tidak berdaulat.
Kendati negara-negara bagian boleh memiliki konstitusi sendiri, kepala negara sendiri, parlemen sendiri, dan kabinet sendiri,
yang berdaulat dalam negara serikat adalah gabungan negara-negara bagian yang disebut negara federal. Setiap negara bagian
bebas melakukan tindakan ke dalam, asal tak bertentangan dengan konstitusi federal. Tindakan ke luar (hubungan dengan negara
lain) hanya dapat dilakukan oleh pemerintah federal.[43] Ciri-ciri negara serikat/ federal yaitu :
1. tiap negara bagian memiliki kepala negara, parlemen, dewan menteri (kabinet) demi kepentingan negara bagian;
2. tiap negara bagian boleh membuat konstitusi sendiri, tetapi tidak boleh bertentangan dengan konstitusi negara serikat.
3. hubungan antara pemerintah federal (pusat) dengan rakyat diatur melalui negara bagian, kecuali dalam hal tertentu yang
kewenangannya telah diserahkan secara langsung kepada pemerintah federal. [44]
Jika dilihat dari sejarah ketatanegaraan berdasarkan konstitusi maka bentuk negara Indonesia telah mengalami perubahan
bentuk negara beberapa kali sebagai berikut :
1. Pada masa UUD 1945 yang pertama
Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 UUD 1945 yang asli bahwa : “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik”.[45]
Berdasarkan UUD 1945 original dapat disimpulkan bahwa pada masa diberlakukannya UUD yang pertama, bahwa bentuk negara
Indonesia adalah berbentuk negara kesatuan. Berdasarkan Pasal 18 UUD 1945 Indonesia menganut bentuk negara kesatuan dengan
sistem desentralisasi dan dekonsentrasi. Namun pada pelaksanaannya berdasarkan Undang-undang organik dari pasal 18 UUD 1945
yaitu Undang-undang Nomor 22 tahun 1948 Undang-Undang Pokok tentang Pemerintahan Daerah pada Konsideran bagian Menimbang
beserta pasal-pasalnya hanya mengatur pelaksanaan penyelenggaraan
pemerintahan daerah-daerah otonom saja.[46]
2. Pada masa Konstitusi RIS 1949
Konstitusi RIS 1949 adalah konstitusi negara federasi dengan sistem parlementer yang masih bersifat sementara. Materi pasal
konstitusi RIS telah memenuhi kriteria menjadi konstitusi demokratik karena memuat tiga pokok penting dalam UUD yakni jaminan
terhadap HAM, ditetapkannya susunan ketatanegaraan yang bersifat mendasar dan adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas
ketatanegaraan yang bersifat mendasar.[47] Meskipun masa berlaku Konstitusi RIS 1949 ini singkat dari tanggal 27 Desember
1949 - 17 Agustus 1950 namun apabila dilihat dari latar belakang anggota Panita pembuat konstitusi RIS yaitu para teknokrat
pejuang Republik Indonesia, teknokrat akademisi Belanda, dan teknokrat BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overlag/ Wilayah
Indonesia yang akan menjadi anggota RIS) maka konstitusi RIS termasuk produk karya intelektual. Dalam Bab V pasal 188
Konstitusi RIS diatur pembuatan UUD yang mencantumkan perlunya diangkat keanggotaan Konstituante yang bersifat ad-hoc.
Pasal-pasal dalam konstitusi RIS tersusun secara sistematik, rapi dan rasional serta adanya bab Lampiran sedemikian rinci
yang bisa dijadikan rujukan dalam pembuatan undang-
undang agar tidak terjadi tumpang tindih.[48]
Berdasarkan pasal 1 Konstitusi RIS 1949 maka indonesia pernah berbentuk negara serikat (Federal). Republik Indonesia Serikat
merupakan negara serikat yang terdiri dari negara-negara bagian sebagai berikut :
a. Negara Republik Indonesia, dengan daerah menurut status quo seperti tersebut dalam persetujuan Renville tanggal 17
Januari 1948; Negara Indonesia Timur; Negara Pasundan; termasuk Distrik Federal Jakarta, Negara Jawa Timur, Negara Madura,
Negara Sumatera Timur, dengan pengertian bahwa status quo Asahan dan Labuhan Batu berhubungan dengan Negara Sumatera Timur
tetap berlaku; Negara Sumatera Selatan;
b. Satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri : Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan Barat (Daerah
Istimewa),Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timor a dan b ialah daerah-daerah bagian yang dengan
kemerdekaan menentukan nasib sendiri bersatu dalam ikatan federasi Indonesia Serikat.
c. Daerah-daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah-daerah bagian.[49]
Dalam negara federasi, negara-negara bagian berhak memiliki undang-undang dasar sendiri. Dengan demikian dalam Negara
Republik Indonesia serikat ada dua jenis undang-undang dasar yaitu Undang-Undang Dasar atau Konstitusi Negara Federasinya dan
Undang-Undang Dasar Negara Bagian, namun dalam kurun kurun waktu berlakunya Konstitusi (Sementara) Republik Indonesia (tahun
1949); baru Negara Bagian Republik Indonesia (Proklamasi Yogyakarta) yang telah memiliki UUD yaitu tetap menggunakan UUD 1945
sebagai Undang-Undang Dasarnya. Dalam Konstitusi RIS1949 pengaturan dan ketentuan mengenai pelaksanaan desentralisasi dan
otonomi daerah tidak ada karena hal tersebut memang diatur dalam UUD negara-negara bagian. Dalam hal ini Negara Bagian
Republik Indonesia (Proklamasi Yogyakarta) tetap menggunakan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 Undang-Undang Pokok tentang
Pemerintahan Daerah.[50]
3. Pada masa UUD Sementara Republik Indonesia1950
UUD sementara 1950 dilatarbelakangi oleh semangat mengembalikan integritas Republik Indonesia menjadi negara kesatuan
sebagaimana yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. [51] Meskipun Belanda berusaha memecah belah negara Kesatuan
republik Indnoesia dengan mendirikan negara-negara bagian namun usaha tersebut gagal, terbukti dengan bersatunya
negara-negara bagian tersebut menjadi republik Indonesia serikat atau tergabung dalam negara federasi. Atas semangat itulah
maka dilakukanlah perubahan Konstiusi RIS 1949 menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 (UUDS RI 1950)
mengenai seluruh negara bagian atau daerah yang tergabung dalam Republik Indonesia Serikat untuk dirubah mengenai bentuk
susunan negaranya dari negara yang berbentuk federasi menjadi negara yang berbentuk kesatuan. UUDS RI 1950 berlaku resmi
mulai tanggal 17 Agustus 1950 menggantikan Konstitusi RIS 1949 dan berakhir setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden (Soekarno)
5 Juli 1959 yang mana menetapkan kembali berlakunya UUD 1945.
Perubahan tersebut dilakukan dengan Undang-Undang Federal yang dibentuk Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan
Rakyat dan Senat yaitu dengan membentuk Undang-Undang Federal Nomor 7 tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara
Republik Indonesia serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia.[52] Dengan diberlakukannya Undang-Undang
Federal Nomor 7 tahun 1950 maka nasib sebuah federasi terkubur dengan terbentuknya negara kesatuan yang baru dengan sebuah
konstitusi yang baru yaitu UUDS RI 1950. Mengenai pemerintahan daerah dalam UUDS RI 1950 menegaskan dengan jelas tentang
sistem pemerintahan daerah dengan otonomi yang luas yang diberikan kepada masing-masing daerah. [53]Dalam Pasal 131 UUDS RI
1950 diatur ketentuan mengenai pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Dalam Pasal 131 UUDS RI 1950 menentukan sebagai
berikut :
1) Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri (otonom), dengan
bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dan
dasar perwakilan dalam sistem pemerintahan negara.
2) Kepada daerah-daerah diberikan otonomi seluas-luasnya untuk mengurus rumah tangganya sendiri.
3) Dengan undang-undang dapat diserahkan penyelenggaraan tugas-tugas kepada daerah-daerah yang tidak termasuk dalam urusan
rumah tangganya.[54]
Pada Pasal 131 ayat 1 UUDS RI 1950 menghendaki dibentuknya suatu undang-undang organik untuk mengatur pelaksanaan
penyelenggaraan pemerintahan di daerah-daerah tersebut, namun kenyataannya undang-undang organik tersebut tidak segera
dibentuk sehingga berdasarkan peraturan peralihan pasal 142 UUDS 1950 maka peraturan perundang-undangan yang sudah ada tetap
berlaku selama belum ada ketentuan yang mencabut, menambah atau merubahnya. Berdasarkan ketentuan tersebut maka Undang-Undang
Nomor 22 tahun 1948 masih tetap berlaku dengan diadakan penyesuaian. [55] Undang undang organik mengenai pemerintahan daerah
sebagaimana dikehendaki pasal 131 UUDS RI 1950 baru dapat dibentuk pada tahun 1957 yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Sesuai ketentuan ayat 2 pasl 131 UUDS RI 1950 maka Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957
menganut prinsip otonomi seluas-luasnya. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957 iniseperti halnya dengan Undang-Undang Nomor 22
tahun 1948 yang hanya mengatur tentang pemerintahan daerah yang bersifat otonom dan tetap dikandung maksud menghapus
daerah-daerah administrasi.[56] Melalui Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957 diperkenalkan pula konsepsi tentang sistem otonomi
yang riil yaitu suatu sistem penyelenggaraan desentralisasi yang berdasarkan faktor-faktor yang nyata sesuai dengan kebutuhan
dan kemampuan yang riil dari daerah-daerah maupun pusat serta disesuaikan dengan pertumbuhan kehidupan masyarakat yang
tengah berlangsung.[57]
4. Pada masa kembali lagi ke UUD 1945 hingga perubahannya sampai sekarang
Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno menetapkan Dekrit Presiden yang terkenal dengan nama Dekrit Presiden 5 Juli 1959
dimana salah satu materinya adalah menetapkan kembali UUD 1945 Asli sebagai Konstitusi negara. UUD 1945 dari Era Orde lama
sampai dengan UUD 1945 amandemen keempat tetap konsisten mengenai bentuk negara Indonesia adalah Negara Kesatuan. Dalam Pasal
1 ayat 1 UUD 1945 Amandemen dinyatakan yaitu : Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk republik. Dengan
berlakunya kembali UUD 1945 (kurun waktu mulai tanggal 5 Juli 1959 pada masa orde lama) maka pengaturan mengenai pelaksanaan
dan penyelenggaraan pemerintahan ketentuannya dikembalikan ke pasal 18 UUD 1945 yang menghendaki dilaksanakannya asas
desentralisasi , asas dekonsentrasi, dan juga asas pembantuan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Namun karena situasi politik yang tidak memungkinkan dan berbagai permasalahan kenegaraan menyebabkan terjadinya kekosongan
hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Pada masa Orde Baru dibentuk Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah sebagai sebagai
undang-undang organik dari Pasal 18 UUD 1945 yang mengatur mengenai pelaksanaan politik desentralisasi, politik dekonsentrasi
dan tugas pembantuan.[58] Namun pada pelaksanaan dan penyelenggaraannya sejak tahun 1974 hingga tahun 1992 mengalami hambatan
terutama ketentuan pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 mengenai titik berat otonomi daerah pada Daerah Tingkat II.
Memasuki masa reformasi dihapuslah Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 dan dibentuklah Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 ini telah mengubah paradigma sentralisasi pemerintahan ke arah
desentralisasi dengan pemberian otonomi daerah yang nyata, luas dan bertanggungjawab kepada daerah.[59] Undang-Undang
tersebut memberikan kewenangan yang luas namun bertanggung jawab kepada daerah dan menitikberatkan pada pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah. Namun pelaksanaannya kurang efektif karena banyak pasal yang berkaitan dengan
pendelegasian wewenang harus diatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan lain yang lebih rendah dan pelaksanaan
undang undang ini harus menunggu dua tahun kedepan. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 ini tampaknya tidak sesuai lagi dengan
perkembangan keadaan dan ketatanegaraan sehingga diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disahkan pada tanggal 15 Oktober 2004 dan mulai berlaku pada
hari tanggal diundangkannya; Lembaran Negara republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125; Tambahan lembaran Negara republik
Indonesia Nomor 4438.[60] Undang-undang ini telah dilakukan perubahan dua kali dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12
tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Undang-Undang Nomor 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah ini tetap menitikberatkan pada pelaksanaan desentralisasi dan otonomi
daerah.Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengenai prinsip otonomi, bahwa prinsip otonomi
menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab.[61] Semua aturan hukum dan ketentuan hukum atau
peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara langsung dengan daerah otonom wajib mendasarkan dan menyesuaikan dengan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemerintahan daerah sepanjang
belum diganti dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tetap berlaku. Sedangkan peraturan pelaksanaan
atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ditetapkan selambat-lambatnya 2(dua) tahun sejak Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
dinyatakan berlaku. [62] Menurut UU No. 32 tahun 2004, desentralisasi diatur berkesimbangan antara daerah provinsi,
kabupaten/kota, desentralisasi terbatas pada kabupaten/kota dan luas pada provinsi, tugas pembantuan berimbang pada semua
tingkatan pemerintahan.[63] Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah ini tetap menitikberatkan pada
pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah.
Setelah menjelaskan bentuk negara yang digunakan di Indonesia akan dibahas mengenai bentuk negara Swiss dimana menjadi negara
Federal semenjak tahun 1848 karena Swiss Mengadopsi konstitusi Federal. Pada tahun 1999, Konstitusi Swiss 1874 telah
digantikan oleh Konstitusi Baru (berlaku sejak 1 Jan 2000) mengintegrasikan sekitar 150 revisi kecil menjadi teks, baru
konsolidasi tanpa secara radikal mengubah struktur Federasi Swiss. Berdasarkan Pasal 1 Konstitusi Swiss 1999 menyatakan bahwa
Rakyat Swiss dan kanton Zurich, Bern, Lucerne, Uri, Schwyz, Obwald, Nidwald, Glarus, Zug, Fribourg, Solothurn, Basel-Kota,
Basel-Land, Schaffhausen, Appenzell Outer Rhodes, Appenzell Inner -Rhodes, St Gall, Grisons, Aargau, Thurgau, Ticino, Vaud,
Valais, Neuchatel, Jenewa, dan Jura membentuk Federasi Swiss.[64] Berdasarkan konstitusi Swiss 1999 maka Swiss adalah negara
federasi yaitu Nationalrat yaitu semacam dewan perwakilan rakyat dan standerat semacam senat.[65] Kedudukan kanton (semacam
negara bagian) sangat kuat dalam struktur negara di Swiss. Kanton merupakan komunitas politik yang memiliki otonomi yang
sangat luas. Setiap kanton terdiri dari beberapa Komune. Tugas dan fungsi Pemerintah Federal secara tegas ditentukan dalam
Konstitusi Federal seperti kebijakan luar negeri, pertahanan, dan keamanan, kebijakan moneter, bea cukai, pos, telegrap dan
telekomunikasi serta menetapkan perundang-undangan dan peraturan lainnya yang menyangkut kepentingan umum seluruh warga
negara Swiss.Kanton sendiri memiliki pemerintahan, konstitusi, parlemen dan pengadilan sendiri, dan secara bebas mengatur
pemerintahan masing-masing. Pemerintah Federal sama sekali tidak mencampuri urusan-urusan yang secara tegas ditentukan dalam
Konstitusi Federal. Meskipun politik luar negeri merupakan wewenang pusat, namun dalam beberapa hal, masing-masing Kanton
juga diberi wewenang untuk melakukan hubungan luar negeri seperti mengadakan perjanjian dengan negara lain, sepanjang hal
tersebut diketahui oleh Pemerintah Pusat dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Federal.[66]
D. Perbandingan Berdasarkan Model Sistem Pemerintahan
Sistem pemerintahan negara yang paling dikenal di dunia yaitu :
1. Sistem Pemerintahan Presidensiil
Sistem pemerintahan dikatakan presidensiil apabila (a) kedudukan kepala negara tidak terpisah dari jabatan kepala
pemerintahan, (b) kepala negara tidak bertanggung jawab terhadap parlemen melainkan bertanggung jawab terhadap rakyat yang
memilihnya, (c) presiden tidak berwenang membubarkan parlemen, (d) kabinet sepenuhnya bertanggung jawab kepada presiden
sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara atau sebagai administrator yang tertinggi.[67]
2. Sistem Pemerintahan Parlementer atau sistem Kabinet
Sistem pemerintahan dikatakan parlementer apabila (a) sistem kepemimpinannya terbagi dalam jabatan kepala negara dan kepala
pemerintahan sebagai dua jabatan yang terpisah, (b) jika sistem pemerintahannya ditentukan harus bertanggung jawab kepada
parlemen, (c) kabinet dapat dibubarkan apabila tidak mendapat dukungan parlemen, (d) parlemen juga dapat dibubarkan oleh
pemerintah apabila dianggap tidak memberikan dukungan kepada pemerintah.[68]
3. Sistem Pemerintahan Campuran
Dinamakan dengan sistem pemerintahan campuran karena terdapat sistem pemerintahan presidensiil dan sistem pemerintahan
parlementer yang diterapkan secara bersama-sama. Apabila sistem pemerintahan presidennya lebih menonjol maka disebut sistem
pemerintahan quasi- presidensiil. Apabila sistem pemerintahan parlemennya lebih menonjol disebut sistem quasi parlementer.
4. Sistem Pemerintahan Kolegial
Selain ketiga sistem pemerintahan diatas masih ada satu sistem pemerintahan yang unik yang diterapkan di Swiss yaitu Sistem
Pemerintahan Kolegial. Sistem pemerintahan kolegial adalah sistem pemerintahan dimana kepemimpinan negara dan pemerintahan
dilaksanakan secara bersama sama.[69] Dalam Sistem pemerintahan kolegial di Swiss, tujuh orang anggota Dewan Federal yang
dipilih oleh parlemen ini secara bersama sama memimpin negara dan pemerintahan Swiss. Ketujuhnya berstatus menteri,
mengepalai departemen, dan untuk jabatan presiden dan wakil presiden di Swiss dipilih oleh tujuh anggota dewan federal untuk
masa jabatan secara bergantian setiap tahun.
Keunikan dari sistem pemerintahan kolegial yang diterapkan di Swiss ialah tidak ada orang yang sangat berkuasa, tetapi juga
tidak ada orang yang paling berat menanggung tugas kewajiban. Semuanya ditanggung bersama karena kepemimpinan bersifat
kolegial. Presiden Swiss bukanlah orang paling berkuasa sebagaimana dalam negara bersistem presidensial. Sistem demikian ini
sudah berjalan sejak konstitusi Swiss modern disahkan tahun 1848. [70] Sistem ini untuk mencegah terjadinya otoriter serta
kekuasaan yang terus-menerus dan sewenang-wenang.
Untuk Indonesia semenjak awal pembentukan UUD 1945 dan berdasarkan keinginan para perancang UUD 1945 menggunakan sistem
pemerintahan presidensiil namun Apabila ditelaah secara seksama dalam sejarah tatakenegaraan kita, sistem presidensiil yang
dianut di Indonesia adalah tidak murni.[71] Pada Konstitusi UUD 1945 Original dikatakan bahwa sistem pemerintahannya berupa
sistem pemerintahan presidensiil. Namun apabila kita lihat Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi
negara dan juga lembaga parlemen yang diberi kewenangan yang luas salah satunya dengan membuat Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN) yang harus dilaksanakan oleh presiden sehingga presiden harus bertanggung jawab kepada MPR. MPR juga diberi
wewenang untuk memberhentikan presiden di tengah masa jabatannya kaitannya dengan tuduhan pelanggaran haluan negara. Presiden
di posisikan sejajar dengan lembaga tinggi negara dalam UUD 1945 original sehingga seakan akan diposisikan setara dengan
fungsi perdana menteri seperti yang berlaku pada sistem parlementer. dalam prakteknya banyak bagian-bagian dari sistem
pemerintahan parlementer yang masuk ke dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Sehingga secara singkat bisa dikatakan bahwa
sistem pemerintahan yang berjalan i Indonesia adalah sistem pemerintahan yang merupakan gabungan atau perpaduan antara sistem
pemerintahan presidensiil dengan sistem pemerintahan parlementer.[72] Sistem pemerintahan seperti ini justru mencerminkan
sistem pemerintahan campuran (quasi presidensiil).
Kemudian apabila kita melihat dalam UUD 1945 amandemen keempat dimana Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sudah tidak lagi
ditempatkan menjadi lembaga penjelmaan rakyat serta menempatkan DPR sebagai lembaga legislatif yang juga memiliki kewenangan
dan kekuasaan yang terlalu besar dan membatasi kekuasaan presiden yang menyebabkan sistem presidensiil menjadi tidak efektif.
Hal ini menjadikan sistem pemerintahan di Indonesia kembali menjadi tidak jelas apakah akan tetap menganut sistem
pemerintahan presidensiil atau parlementer.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan mengenai materi muatan Konstitusi di negara Indonesia dan Negara Swiss dari segi prosedur perubahan
konstitusi, bentuk pemerintahan, bentuk negara, sistem pemerintahannya maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Dari Segi prosedur perubahan konstitusi
Bahwa secara formal perubahan UUD 1945 dari yang pertama hingga perubahan keempat UUD 1945 secara formal mengikuti sistem
amandemen dimana konstitusi yang lama berupa pembukaan UUD 1945 masih tetap berlaku dan beberapa ketentuan seperti penjelasan
dalam UUD 1945 Asli sudah tidak ada dan tidak berlaku lagi, yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan yang baru dalam
pasal-pasal perubahan UUD 1945 yang telah diamandemen walaupun materi jumlah muatan perubahan lebih besar dari pada naskah
aslinya namun sedikit banyaknya perubahan ketentuan konstitusi bukan merupakan penentu sistem amandemen.
Mengenai cara perubahan konstitusi UUD 1945 dilakukan dengan cara Yuridis Formal sebagaimana telah memenuhi ketentuan yang
diatur dalam konstitusi yaitu pasal 37 UUD 1945 sebelum Perubahan dan Pasal 37 UUD 1945 setelah amandemen keempat. Pada
prinsipnya tidak ada perbedaan antara sebelum dan sesudah Amandemen UUD 1945 dimana MPR tetap sebagai lembaga yang berwenang
untuk merubah UUD 1945 meskipun dengan struktur yang sudah diubah. Perbedaannya hanya pada prosedur dan jumlah kuorum saja.
Dari segi prosedur perubahan konstitusi maka berdasarkan pasal 37 Undang-Undang Dasar 1945 amandemen keempat mekanisme
prosedur perubahan konstitusi di Indonesia sedikit diperberat dengan dicantumkan ketentuan yang menegaskan untuk perubahan
pasal undang-undang dasar hanya dapat dilakukan apabila disetujui oleh lebih dari separuh jumlah anggota MPR. Berbeda dengan
prosedur perubahan konstitusi federal Negara Swiss yang bersifat rigid. Prosedur perubahan konstitusi di Swiss diatur dalam
pasal 138 sampai dengan pasal 139 Konstitusi Swiss. Amandemen konstitusi memerlukan persetujuan dari mayoritas rakyat dan
kanton. Keputusan perubahan konstitusi federal diserahkan kepada rakyat melalui referendum.
2. Dari bentuk pemerintahan
Mengenai Bentuk pemerintahan negara Indonesia dengan negara Swiss sama-sama berbentuk republik dimana negara dikepalai oleh
presiden sebagai kepala negara untuk masa jabatan tertentu. Dalam bentuk pemerintahan republik, kepala pemerintahan dan
kepala negara ada di tangan Presiden. Namun perbedaannya adalah tampak pada masa jabatan, dan jumlah anggota kabinet. Di
Indonesia berdasarkan Pasal 7 UUD RI 1945 setelah amandemen maka jabatan presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama
lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Sedangkan untuk
masa jabatan Presiden dan wakil Presiden di Swiss berdasarkan Pasal 176 ayat 2 Konstitusi Swiss 1999 adalah satu tahun.
Jabatan Presiden di Swiss digilir di antara para Menteri Kabinet yang berjumlah 7 orang.
Presiden di Indonesia dalam menjalankan pemerintahannya menunjuk dan membentuk kabinet yang besar untuk membantu dan
mendukung presiden dalam menjalankan pemerintahannya. Sedangkan pembentukan kabinet di Swiss hanya terdiri dari 7 orang
Menteri Kabinet(dewan federal) dipilih oleh Majelis Federal(parlemen). Jumlah menteri termasuk presiden dan wakil presiden
hanya tujuh orang. Hal ini merupakan salah satu kelebihan Swiss dalam meminimalkan jumlah kabinet sehingga dapat menghemat
pengeluaran negara. Sumber daya Manusia di Swiss benar-benar dioptimalkan untuk membangun negara.
3. Dari bentuk negara
Menurut Pasal 1 ayat 1 UUD 1945 amandemen dinyatakan bahwa bentuk negara Indonesia adalah negara kesatuan. Sedangkan bentuk
negara Swiss adalah negara Serikat/Federal semenjak tahun 1848 karena Swiss Mengadopsi konstitusi Federal. Lepas dari
perbedaan bentuk negara pada dasarnya terdapat persamaan antara negara serikat/federal dan negara kesatuan yaitu bersistem
desentralisasi, Pemerintah pusat sebagai pemegang kedaulatan ke luar, Sama-sama memiliki hak mengatur daerah sendiri
(otonomi). Yang membedakannya ialah mengenai asal-asul hak mengurus rumah tangga sendiri itu. Pada negara bagian, hak otonomi
itu merupakan hak aslinya, sedangkan pada daerah otonom di negara kesatuan, hak itu diperoleh dari pemerintah pusat.
4. Dari sistem pemerintahan
Meskipun kesepakatan dasar dalam Konstitusi Indonesia yang terakhir berupa UUD 1945 amandemen keempat salah satunya adalah
mempertegas sistem pemerintahan presidensiil namun pada kenyataannya konstitusi UUD 1945 amandemen keempat justru memperkuat
kedudukan DPR (bagian dari parlemen) sebagai lembaga legislatif dan membatasi kewenangan presiden. Hal ini menyebabkan
sistem pemerintahan di Indonesia menjadi tidak jelas. Apabila telah sepakat untuk mempertegas sistem pemerintahan
presidensiil maka dalam konstitusi Indonesia harus diatur kembali mengenai sistem pemerintahan presidensiil yang murni
sehingga penataan hubungan dan kewenangan antara legislatif dan eksekutif menjadi lebih jelas. Berbeda dengan sistem
pemerintahan di Swiss yang menggunakan sistem pemerintahan Kolegial tampak lebih stabil dengan kepemimpinannya secara
bersama-sama oleh tujuh dewan federal termasuk didalamnya presiden dan wakil presidennya. Seluruh anggota Dewan Federal
dianggap sebagai Kepala Negara kolektif.
B. Saran
Pemerintah dalam hal perubahan Konstitusi hendaknya membuat suatu rumusan konstitusi yang efektif sehingga tidak terjadi
pembatalan. Hendaknya dalam perumusan perubahan konstitusi sebelum disahkan dan diberlakukan secara efektif harus diajukan
dahulu ke Mahkamah Konstitusi untuk diadakan pengujian dan pengkajian terkait substansi hukumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur :
Admosudirjo, Prajudi, dkk, Konstitusi Swiss, Edisi Inggris – Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1987
Djokosutono, Hukum Tata Negara, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982
Ehols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta : Gramedia, 1987
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia di Masa Depan, Jakarta: Pusat studi Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2002
_________, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta : Konpress, 2005
_________, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta : Sekertariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, 2006
_________, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009
Kusnardi, Moh. dan Harmaly Ibrahim, Hukum Tata Negara IndonesiaI, Jakarta : Pusat Studi HTN, 1983
Lubis, M.Solly, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Bandung : Alumni, 1978
Mohammad Mahfud MD, 2001, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia Edisi Revisi, Jakarta : Rineka Cipta
MD, Moh. Mahfud Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2010
Ranadireksa, Hendrawan, Bedah Konstitusi Lewat Gambar Dinamika Konstitusi Indonesia: Ada Apa dengan UUDs 1945 (Original),
Maklumat No.X, UUDs RIS, UUDS 1950, UUD 1945 pasca Dekrit 5 Juli 1959, UUD 1945 Era Orde Baru, UUD 1945 Amandemen I sampai
dengan IV,Fokus Media, Bandung, 2007
Soehino, Imu Negara, Yogyakarta : Liberty, 1980
________, Hukum Tata Negara : Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah
Negara Hukum, Liberty : Yogyakarta, 1985
_________, Hukum Tata Negara Perkembangan Otonomi Daerah Edisi Kedua, Yogyakarta : Fakultas Ekonomi UGM,2004
________, Hukum Tata Negara : Perkembangan Pengaturan Mengenai Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah,BPFE-Yogyakarta,
Yogyakarta, 2010
Soemantri, Sri Prosedur dan sistem Perubahan Konstitusi, Bandung : Alumni, 1987
Strong, CF Modern Political Constitutions : an Introduction to the Comparative Study Of Their His






0 komentar:
Posting Komentar