Kamis, 12 November 2015

PILKADA : AJANG DEMOKRASI FAIR PLAY BUKAN AJANG PLAY FAIR

PILKADA : AJANG DEMOKRASI FAIR PLAY BUKAN AJANG PLAY FAIR   
Problematika terus menerus terjadi di Negara ini. Ibarat penyakit fisik, Dokter mungkin mengatakan sudah stadium 4 alias tidak dapat tertolong lagi. Bukan bangsa Indonesia namanya jika tak bisa mengobati diri sendiri, namun anehnya sudah sering sakit tapi tidak mau belajar dari penyakit yang sudah terjadi malah menambah dan menumpuk penyakit. Baru-baru ini anggota dewan yang katanya terhormat membuat geger masyarakat. Azimat demokrasi yang perwujudan dari kedaulatan rakyat di gugat oleh beberapa golongan untuk di kebiri, namun Tuhan masih berkehendak dan melindungi sehingga tak sampai terjadi. Walhasil sakit hati tapi tak sampai bunuh diri.
Pilkada merupakan perwujudan demokrasi dalam hal pemilihan pemimpin atau kepala daerah baik Gubernur maupun Bupati/Walikota secara demokratis yang akan dilaksanakan secara serentak dalam hitungan bulan pada tahun ini, bagi daerah yang telah siap untuk melaksanakannya. Bagi yang belum siap maka pilkadanya akan diundur sesuai amanat UU No. 8 Tahun 2015, tentang pilkada. Dalam ajang pilkada tentu kandidat yang maju lahir dari berbagai latar belakang baik yang diusung oleh partai politik tertentu, gabungan partai politik dalam istilah koalisi maupun independent. Membutuhkan pendekatan kemasyarakat dengan berbagai macam cara. Mulai dari memberikan bantuan secara kolekftif, individu (money politik) maupun kampanye visi misi atau program kerja. Dengan sadar Negara sudah mengatur secara jelas dan tegas berkaitan dengan tata cara bagaimana permainan dilakukan secara sportif (Fair Play). Untuk kandidat yang belum pernah maju atau sudah pernah maju tapi tak terpilih dalam ajang pilkada membutuhkan ekstra kerja keras menarik konstituen, sedangkan bagi kandidat yang petahana ini dengan mudah menarik konstituen karena sudah terbukti dalam hal kinerjanya. apakah kandidat petahana ini dalam ajang pilkada dapat menjamin tidak menggunakan kekuasaan dalam menarik konstituennya?, karena banyaknya kampanye yang dilakukan selalu saja menimbulkan berbagai macam masalah. Dari mulai APK (alat perga kampanye) yang penempatannya tidak sesuai dengan aturan hingga mendahului kampanye dari jadwal yang ditentukan.
Perspektif Yuridis
       Keluarnya UU No. 8 tahun 2015 atas perubahan UU No. 1 Tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, telah tegas menyebutkan dalam Pasal 7 huruf q, bahwa calon yang sudah ditetapkan oleh KPU dengan berbagai pertimbangan syarat menjadi calon tidak berstatus sebagai pejabat Gubernur, Bupati dan Walikota. Artinya, bahwa calon yang akan maju dalam pemilihan kepala daerah harus tidak memangku jabatan politis tersebut, diperuntukkan agar calon yang petahana tidak menggunakan kekuasaannya dalam waktu kampanye nanti. Selaras dengan bunyi Pasal 70 ayat (1), di dalam kampanye pasangan calon dilarang melibatkan, pejabat BUMN/BUMD, aparatur sipil baik Kepolisian maupun TNI, serta aparat desa.
Pasal 70 ayat (2) berbunyi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dengan Wakil Walikota dapat mengikuti kampanye dengan mengajukan izin cuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-perundangan yang berlaku. Sedangkan Pasal 70 ayat (3) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dengan Wakil Walikota yang mencalonkan lagi dalam daerah yang sama, dalam pelaksanaan kampanye haruslah tidak menggunakan fasilitas terkait dengan jabatannya, menjalani cuti diluar tanggungan Negara dan pengaturan lama cuti dan jadwal cuti dengan memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan pemerintah daerah. Dimaksudkan untuk memberikan ruang demokrasi yang fair play bagi seluruh kandidat Pilkada.
Perspektif Marketing Politik
Pilkada merupakan ajang bergengsi di dalam pertarungan konstelasi politik untuk meraih kekuasaan di ranah daerah-daerah. Begitu banyak kandidat yang bertaruh didalam pilkada bukan hanya calon namun pengusung calonnya pun bertaruh dengan berbagai macam strategi guna meraup suara sebanyak-banyaknya. Untuk yang menggunakan kendaraan partai politik maka strategi diatur sedemikian rupa agar mulus dalam meraup suara. Sedangkan bagi yang independent harus ekstra keras dalam menarik suara konstituennya. Dengan demikian untuk memenangkan Pilkada maka pemasaran politik (Marketing Politik) menyediakan berbagai macam senjata yang diperlukan. Mulai dari partai politik menyeleksi kader terbaik untuk dicalonkan, tentunya ini sangat penting dalam mendulang suara sebanyak-banyaknya hingga para pelaku marketing politik memetakan kekuatan suara para kandidat-kandidat. Dimaksudkan untuk melihat seberapa peluang kemenangan yang dicapai.
Calon petahana sangat diperhitungkan dalam pilkada kembali, karena dengan mengusung petahana ini partai politik tidak bersusah payah dalam membuat strategi jitu untuk meraup suara, karena petahana ini sudah dikenal oleh masyarakat serta memiliki kekuasaan yang mana suatu saat jika terdesak dapat digunakan untuk meraup suara dengan melakukan kampanye dan mengetahui program-program yang belum terrealisasikan sebagai bahan kampanye. Strategi pemasaran politik sangat membantu untuk menyukseskan kandidat dengan segala aktifitasnya, dimulai dari segmentasi politik, targeting politik, positioning politik dan bauran produk politik.
 Analisa
Kandidat pilkada petahana maupun non petahana bertarung dalam ajang bergengsi demokrasi, melibatkan berbagai macam konstelasi politik untuk meraup suara sebanyak mungkin sebagai salah satu yang akan memangku jabatan politis kepala daerah. Strategi politik atau pemasaran politik sering kali digunakan sebagai alat dalam meraup suara. Namun tidak adil jika kandidat petahana maju dengan menggunakan sarana dan prasarana kekuasaannya untuk melakukan kampanye dalam pencalonan kembali. fakta membuktikan kepala daerah yang masih menjabat jabatan tersebut sering kali melanggar aturan yang berlaku hingga APK yang tidak sesuai dengan aturan sampai kampanye dilakukan lebih dahulu sebelum jadwal ditentukan. Alih-alih program kerja yang harus diselesaikan blusukan ke masyarakat ini menjadi alat untuk melakukan kampanye yang terselubung. Namun sayangnya badan pengawas pemilu tidak menyadari akan hal itu.

Izin cuti dilakukan ketika waktu kampanye sudah diberikan oleh KPU maka seluruh kandidat dapat melakukan kampanye secara damai dan terbuka. Akan tetapi kandidat petahana sudah melampaui batasnya, jika non petahana melakukan kampanye pada saat waktu yang ditentukan maka mudahnya bagi petahana untuk melakukan kampanye dulu. Ini jelas-jelas sudah melanggar aturan UU No. 8 Tahun 2015, tentang Pilkada Pasal 70 ayat (3) ,maka perlu sikap tegas dilakukan oleh badan pengawas pemilu maupun badan penyelenggara pemilu didaerah untuk lebih sigap dan tanggap bukan malah habis perkara dilaporan. Jika ini selalu saja terjadi maka tingkat pasrtisipatif masyarakat semakin hari semakin menurun. Padahal kesuksesan Demokrasi menjadi tolak ukurnya adalah partisipasi masyarakat, semakin tinggi jumlah pemilih dalam menentukan suaranya semakin tinggi pula keberhasilan demokrasi ini.